Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Jamiin, Pahlawan Penyelamat Penderita Gangguan Jiwa

Erika Kurnia , Jurnalis-Selasa, 10 November 2015 |23:37 WIB
Jamiin, Pahlawan Penyelamat Penderita Gangguan Jiwa
Perjuangan Jamiin selamatkan orang gangguan gila (Foto: Deden/Okezone )
A
A
A

ORANG dengan gangguan kesehatan jiwa masih sering mendapat perawatan yang tidak semestinya. Mereka sering dibiarkan begitu saja membuat keresahan atau dikurung dalam pasungan. Melihat hal ini membuat sosok Jamiin tergerak hatinya untuk menolong mereka.

Pria yang kini berusia 52 tahun sudah sejak 2002 berusaha untuk merangkul masyarakat di sekitarnya yang menderita gangguan jiwa. Hingga kini, warga asal Jombang, Jawa Timur, ini rela menghabiskan waktu dan berkorban demi kesembuhan mereka. Maka tak heran jika sosok Jamiin dipilih dan meraih MNCTV Pahlawan untuk Indonesi 2015, atas perjuangannya selama ini.

“Kita memang tidak ada pengalaman dengan keluarga pengidap gangguan jiwa atau latar belakang psikolog. Tapi kita ada kemauan untuk membina orang-orang dengan keterbelakangan mental. Saya dulunya mungkin hanya pekerja bangunan, tapi kita tergugah untuk mau membantu,” tuturnya saat ditemui Okezone, di Gedung INews, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (10/11/2015).

Usahanya dimulai dengan terjun menyelamatkan orang-orang pengidap gangguan jiwa yang tidak terurus di rumah-rumah keluarga mereka atau di jalanan. Dari situ ia mulai membangun tempat penampungan yang ia usahakan bersama dengan biaya relawan.

“Kita berusaha membina penderita gangguan jiwa ini dengan kasih sayang. Kita mandikan mereka, kita kasih makan, kita juga kasih terapi dengan kegiatan-kegiatan keagamaan,” terang sosok yang pada Hari Pahlawan 10 November ini mendapat penghargaan Pahlawan untuk Indonesia kategori kesehatan.

Dari situ, Jamiin kemudian membangun Yayasan Penuh Warna dan panti yang diberi nama Griya Cinta Kasih. Meski hingga saat ini ia mengaku sudah berhasil merawat 1615 pengidap gangguan jiwa dan memiliki 12 relawan tetap, perjuangannya untuk sampai ke sana tidaklah mudah.

“Dulu pendirinya banyak, 40 orang-orang sosial dari berbagai profesi direkrut dengan perjanjian bekerja tanpa kompensasi apapun, selain fokus pada jiwa raga untuk kepentingan sosial. Selang beberapa lama makin banyak orang yang perlu kita support, kita jadi semakin perlu banyak biaya dan tenaga. Kemudian satu persatu pergi, hingga akhirnya saya ditinggal sendiri,” kenangnya.

(Renny Sundayani)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita women lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement