Menurut perencana keuangan, orang tua disarankan menyisihkan 10%-30% dari total pendapatan bulanan untuk investasi, termasuk dana pendidikan.
“Besarannya tergantung pada target dana pendidikan yang diinginkan. Hitung dulu biaya masuk sekolah atau kuliah anak, lalu cocokkan dengan kemampuan menabung. Jangan asal sisih, tapi hitung apakah itu cukup untuk targetnya,” tegas dia.
Biaya pendidikan tidak hanya uang pangkal atau SPP, tapi juga meliputi: les tambahan, buku, seragam, kegiatan ekstrakurikuler, study tour, transportasi sekolah.
“SPP, les, dan kebutuhan rutin sebaiknya diambil dari pos biaya hidup, bukan dari dana investasi. Karena itu sifatnya reguler,” ujarnya.
Beberapa orang tua berpikir homeschooling bisa memangkas biaya pendidikan. Tapi, menurut narasumber, memilih sistem pendidikan seharusnya bukan berdasarkan murahnya, melainkan berdasarkan kebutuhan dan karakter anak.
“Kalau memilih homeschooling hanya karena lebih murah, itu salah. Kita harus tahu dulu anak kita cocoknya dengan sistem apa. Kalau tidak, anak tidak berkembang optimal meskipun biayanya hemat,” jelasnya.
Selain dana pendidikan, orang tua juga perlu menyisihkan dana darurat. Idealnya, sebesar 6 kali pengeluaran bulanan keluarga.
“Dana darurat itu penting karena hidup penuh ketidakpastian. Bencana, sakit, kehilangan pekerjaan, semua bisa terjadi. Kalau kita punya dana darurat, kita lebih siap secara mental dan fisik,” ujarnya.
Menyiapkan dana pendidikan anak bukan sekedar soal angka, melainkan bentuk nyata tanggung jawab dan cinta orang tua terhadap masa depan anak. Dengan perencanaan yang tepat sejak dini, setiap keluarga bisa menghadirkan peluang pendidikan terbaik tanpa harus terjebak dalam tekanan finansial di masa depan. Karena sejatinya, investasi pendidikan adalah warisan paling berharga yang tak lekang oleh waktu.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)