Jika pasien terdiagnosis positif mengidap SVT, ablasi menjadi pilihan utama sebagai pengobatan pertama. Prosedur ini lebih diutamakan karena memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengobatan menggunakan obat-obatan, yang biasanya diberikan sebagai langkah kedua.
“Keluhan SVT sering ditemui pada rentang usia 20-40 tahun, dengan banyak kasus terjadi pada kaum muda. Sayangnya, di Indonesia belum ada data statistik yang mencatat prevalensinya. Saat ini, belum ada pengukuran terkait jumlah kasus SVT dalam periode waktu tertentu. Pasien yang dapat menjalani prosedur ablasi bervariasi, mulai dari anak-anak hingga lansia. Di RS Siloam TB Simatupang, prosedur ablasi bisa dilakukan pada anak berusia 5 tahun hingga pasien berusia lebih dari 70 tahun,” jelas dr. Dony.
Ablasi bukanlah operasi dengan pembelahan dada (torakotomi). Pasien diharuskan untuk berpuasa selama delapan jam sebelum prosedur ablasi dilakukan. Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan bius lokal, sehingga pasien tetap dalam keadaan sadar selama tindakan ablasi. Namun, pada pasien balita, anestesi umum akan diterapkan.
Selama tindakan, kateter dimasukkan melalui pangkal paha. Kateter yang berukuran sebanding dengan diameter pulpen ini akan melewati pembuluh darah besar menuju jantung. Setelah itu, dokter akan mengidentifikasi dan mengatasi bagian yang bermasalah yang menyebabkan gangguan irama jantung. Prosedur ini biasanya berlangsung selama 2 hingga 3 jam.
Setelah prosedur ablasi, pasien akan menjalani observasi selama 12 hingga 24 jam. Keesokan harinya, pasien diperbolehkan pulang. Kemungkinan munculnya kembali gangguan irama jantung setelah prosedur sekitar 5% hingga 10%. Jika gejala kembali muncul, pasien dapat kembali kontrol ke dokter.
Dalam prosedur ini, dokter akan menghancurkan bagian kecil jaringan jantung yang menjadi sumber gangguan listrik. Salah satu risiko yang mungkin terjadi adalah jika lokasi jaringan yang perlu dihancurkan berada terlalu dekat dengan jalur utama sistem listrik jantung. Bila jalur utama ini terkena panas saat proses ablasi, fungsi penghantar listrik jantung bisa terganggu. Jika hal tersebut terjadi, dokter mungkin perlu memasang alat pacu jantung di bawah kulit untuk membantu mengatur detak jantung secara normal.
Selain itu, area pangkal paha yang digunakan untuk memasukkan kateter berisiko mengalami pembengkakan pasca tindakan ablasi.
“Prosedur ablasi menggunakan teknologi pemetaan jantung dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D). Meskipun sebagian besar prosedur menggunakan pemetaan 2D, pemetaan 3D menawarkan detail yang lebih mendalam, sehingga memungkinkan tindakan yang lebih akurat. Teknologi 3D ini umumnya digunakan untuk kasus-kasus yang lebih kompleks. Saat ini, RS Siloam telah dilengkapi dengan peralatan terbaru tiga dimensi untuk melaksanakan prosedur ablasi tersebut,” ujar dr. Dony
Segera periksakan diri jika Anda atau orang terdekat mengalami gejala SVT. Penanganan yang cepat bisa mencegah komplikasi fatal seperti stroke atau gagal jantung.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)