FLEXING menjadi populer seiring dengan banyaknya konten di media sosial. Konten-konten flexing pun banyak beredar di medsos, bahkan tidak jarang mereka rela meminjam demi bisa flexing.
Founder Yayasan Rumah Perubahan Prof Rhenald Kasali mengatakan, di era sosial media banyak orang muncul untuk memposting sesuatu. Banyak orang secara bebas bisa menayangkan sesuatu tanpa perantara editor, sehingga konten yang ada pun menjadi tidak terkendali.
“Kita menyaksikan semua banyak YouTuber yang menggunakan kekayaan atau seakan-akan kaya. Kalau mereka menyebutkan kaya barang kali mereka justru belum kaya. Ya, kurang lebih demikian,” kata Prof Rhenald seperti dikutip dari laman resmi akun YouTube-nya.
Menurutnya, semakin kaya seseorang, maka kemungkinan besar dia akan diam atau tidak memamerkan kekayaan. Namun, saat ini banyak orang yang pamer kekayaan.
“Salah satu pepatah yang saya ingat adalah poverty screams, but wealth whispers. Jadi benar sekali bahwa orang-orang yang kaya itu tidak berisik, agak malu membicarakan tentang kekayaan,” kata Prof Rhenald seperti dikutip dari akun Youtube pribadinya.
Prof Rhenald yang juga pakar bisnis menjelaskan, fenomena ini dikenal dengan istilah flexing. Dalam konteks consumer behaviour, dikenal teori Conspicuous Consumption. Yakni, pembelian barang atau jasa yang dilakukan untuk menunjukkan kekayaan seseorang.
Menurutnya, jika orang yang benar-benar kaya tidak akan melakukan hal tersebut. Adapun dia akan semakin menjaga privasinya.
“Jadi agak malu membicarakan tentang kekayaan. Kalau orang-orang masih melihat label harga atau mempersoalkan uang, biasanya mereka belum kaya. Jadi orang kaya itu biasanya diam-diam saja lah,” ujarnya.