SETELAH perayaan Tahun Baru Imlek, masyarakat Tionghoa akan menggelar Cap Go Meh. Ini adalah rangkaian akhir dari perayaan Tahun Baru China yang dilakukan tiap tanggal 15 di bulan pertama penanggalan Tionghoa.
Kendati dirayakan di tempat yang berbeda, Festival Lampion atau Festival Musim Semi di China ini memiliki fakta yang sama.
Cap Go Meh biasanya berlangsung meriah, dengan diwarnai atraksi barongsai, parade budaya hingga pesta kuliner.
Berikut Okezone rangkumkan enam fakta menarik tentang Cap Go Meh, mengutip laman China Highlights.
1. Berumur lebih dari 2.000 tahun
Festival Lampion selalu dirayakan pada hari ke-15 dalam kalender lunar atau pada bulan purnama pertama di tahun baru. Perayaan ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Dinasti Han sejak tahun 206 Sebelum Masehi (SM).
(Foto: Putra Ramadhani/MPI)
Kaisar Han Mingdi, seorang pendukung agama Buddha, menemukan para biksu yang menyalakan lampion di kuil-kuil untuk menunjukkan rasa hormat mereka kepada Buddha.
Akhirnya, sang kaisar memerintahkan semua kuil, rumah, dan istana kerajaan untuk menyalakan lampion serupa yang kemudian dikenal sebagai Festival Lentera.
Kini, menerbangkan lampion menjadi sebuah tradisi yang menyimbolkan keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa.
2. Warna lampion hampir selalu merah
Secara tradisional, lampion China memiliki warna merah dan berbentuk oval. Kemudian, ada hiasan jumbai merah dan emas di bagian bawah.
Dalam budaya China, warna merah dipercaya melambangkan kehangatan, kebahagiaan, dan keberuntungan. Ini juga dianggap sebagai warna nasional China.
Lampion ini biasanya dibuat dari kertas tipis atau sutra. Rangkanya terbuat dari bambu, kayu, kawat, atau rotan. Lampion-lampion tersebut nantinya akan dihias dengan kaligrafi, lukisan, atau bordiran yang mendetail.
(Foto: KPCC)
3. Memecahkan teka-teki lampion
Sebuah tradisi yang dimulai pada masa Dinasti Song (960-1279) telah berlangsung hingga saat ini, bahkan menjadi salah satu tradisi terpenting selama Festival Lampion. Memecahkan teka-teki lampion dianggap sebagai tugas yang cukup menantang pada momen ini.
Masyarakat Tionghoa percaya bahwa memecahkannya membutuhkan kekuatan harimau. Jadi, teka-teki lampion ini disebut 'harimau sastra' atau 'macan lentera'. Ketika seseorang berhasil memecahkannya, mereka dianggap telah 'menembak harimau sastra'.
Biasanya, pemilik lampion akan menulis teka-teki menggunakan prosa atau puisi dan menempelkannya di lampion mereka. Kemudian, peserta lampion lainnya akan mencoba menebak teka-teki itu dengan imbalan hadiah kecil.