OBAT Antiretroviral (ARV) untuk pengidap HIV, diketahui saat ini tersedia lebih dari 40 jenis yang sudah disetujui. Antiretroviral (ARV) ini sendiri masuk dalam bagian pengobatan HIV dan AIDS.
Pengobatan HIV yang tujuannya untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi, meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV, dan menurunkan jumlah virus (viral load) dalam darah sampai tidak terdeteksi.
Lantas bagaimana dengan di Indonesia? Obat ARV untuk mengobati para pengidap HIV di dalam negeri ada tiga yang utama. Pertama ada NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), lalu NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), dan yang ketiga yakni PI (Protease Inhibitor).
Namun, sejak Juli 2018, Badan Kesehatan Dunia (WHO) sudah merekomendasikan penggunaan Dolutegravir. Ini adalah obat dari golongan kelas penghambat integrase atau Integrase Inhibitor (INIs), bisa digunakan sebagai alternatif pengobatan HIV pada terapi yang memakai efavirenz.
Direkomendasikannya obat dolutegravir, artinya makin bertambahnya jenis golongan ARV yang dipakai untuk pengobatan pengidap HIV, termasuk di Indonesia.
Lantas bagaimana obat ini bekerja? Melansir laman resmi Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (Yamkes), Selasa (11/4/2023) yang ditinjau apt. Hafiz Surahman, S.Farm, obat dolutegravir bekerja dengan cara menghambat integrase, enzim yang dibutuhkan oleh HIV untuk memasukkan virus ke dalam DNA dari sel T CD4 pejamu.
Ketika HIV menulari sel tubuh manusia DNA (kode genetik), HIV dipadukan dalam DNA sel induk, dan kombinasi inilah yang dibantu oleh enzim integrase. Penggunaan obat dolutegravir yang masuk, ditujukan agar menghambat pekerjaan enzim integrase, agar DNA HIV tak berpadu dengan DNA sel induk. Sehingga, walau HIV menulari sel, tetapi tak bisa menggandakan diri.
Layaknya obat-obatan pada umumnya, obat dolutegravir juga punya efek samping umum, meski tak membuat toksisitas pada manusia. Efek samping yang mungkin terjadi dari penggunaan obat ini, mulai dari sakit kepala, mual dan diare. Reaksi parah dari obat ini, disebutkan lebih lanjut sangat jarang karena proporsi dengan reaksi parah diketahui hanya sekitar 1 persen.
(Rizky Pradita Ananda)