RENCANA dimulainya pembelajaran tatap muka sepertinya harus ditunda dulu karena angka penderita corona di Indonesia meningkat. Bahkan masyarakat tak setuju jika pembelajaran tatap muka diadakan.
Bahkan, dari hasil survei yang KedaiKOPI lakukan, sebanyak 59 persen tidak mendukung rencana ini, dan hanya 41 persen yang mendukung rencana ini.
Ditanggapi Ketua IDI Deng M Faqih, ada tiga syarat yang mesti dipenuhi jika anak-anak kembali ke sekolah. Berikut ulasan selengkapnya.
Zonasi diterapkan
Daeng mengatakan, pembelajaran tatap muka boleh dilakukan pada zona tertentu. Setiap wilayah harus jelas yaitu apakah masuk ke dalam zona hijau, oranye, kuning dan merah.
"Ini harus ada kriteria jelas, mana yang boleh dan tidak. Tentu yang boleh itu zona hijau, jika diputuskan dengan kriteria, baik anak maupun pendidik dan ling sekolah itu protokol kesehatan dijalankan dengan baik," terangnya.
Tenaga pendidik sudah divaksinasi
Tenaga pendidik harus sudah divaksinasi jika pembelajaran tatap muka dimulai.
"Kami sangat setuju ini, tak hanya tenaga pendidik, tapi juga diusulkan peserta didiknya juga divaksin," tambahnya.
Daeng juga mendukung jika vaksinasi anak juga sudah harus dimulai. Ini juga harus menjadi prioritas karena pakar IDAI sudah menyebut bahwa vaksinasi Covid-19 anak itu aman.
"Kami sudah meminta itu kepada pemerinta, vaksinasi kepada anak-anak dimulai. Pakar IDAI menyebut bahwa sudah dirasa aman vaksinasi terhadap anak," lanjutnya.
Patuh protokol kesehatan
Protokol kesehatan harus ditegakkan. Begitu juga dengan strerilisasi lingkungan di sekolah.
"Pihak sekolah harus mengkondisikan lingkungannya steril karena kandungan virus di ruangan tertutup sebenarnya yang lebih berisiko.
"Ada pengecekan kandungan virus, sekolah harus ada strategi, misal dibuka jendela, benda disterilisasi secara rutin dan ventilasi udara memadai," tutupnya.
Ditegaskan Daeng, jika ketiga syarat itu dipatuhi, maka pembelajaran tatap muka bisa kembali dimulai. Menurutnya, sekolah menjadi tempat penyaluran aktivitas anak yang aman daripada di tempat lainnya tanpa pemantauan.
"Karena anak yang tidak sekolah sebenarnya aktivitasnya di mana tidak jelas. Saya khawatir mereka banyak nongkrong di mal, warung kopi, datang ke tetangganya dan ini berisiko juga tertular," ungkapnya.
(Martin Bagya Kertiyasa)