Malam 1 Suro, Bulan Sakral bagi Masyarakat Jawa yang Kental Cerita Mistis

Wilda Fajriah, Jurnalis
Kamis 20 Agustus 2020 19:33 WIB
Ritual Memandikan Keris. (Foto: Okezone/Ardi)
Share :

PERGANTIAN tahun hijriah memang berbeda dengan pergantian tahun masehi. Pada pergantian tahun ini, kental dengan mitos ritual mandi kembang atau membersihkan barang pusaka.

Pergantian Tahun Baru Islam bagi orang Jawa dianggap sebagai bulan tirakat. Orang-orang Jawa pada zaman dulu kerap menghindari berbagai pesta upacara pada bulan ini, termasuk pesta perkawinan dan hajatan lain.

Masyarakat Jawa menyebut 1 Muharam sebagai bulan Suro, yakni bulan pertama dalam penanggalan Jawa. Bagi masyarakat Jawa yang masih memegang teguh tradisi nenek moyang mereka akan menggelar ritual dengan cara semedi atau menepi di berbagai lokasi seperti gunung dan juga laut.

Penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan bubur Sura. Masyarakat berkeyakinan harus terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.

Selama bulan Suro, masyarakat akan melakukan ritual membersihkan benda-benda pusaka peninggalan leluhur seperti keris dan tombak yang dipercaya memiliki kekuatan gaib, serta mengadakan sedekah bumi sebagai salah satu cara mempertahankan kearifan lokal.

Tradisi yang sudah berlangsung sejak jaman kuno ini terus berlanjut hingga saat ini terutama di wilayah dua kerajaan khususnya Surakarta dan Yogyakarta.

Saat itu kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung (Mataram Islam) menciptakan kalender sendiri yang merupakan gabungan antara kalender Hindu (Saka) dan Islam (Hijriah).

Bagyo, salah satu abdi dalam Keraton Solo menyatakan dua kerajaan dari dinasti Mataram ini selama bulan Suro masih melakukan tradisi labuhan. Labuhan adalah ritual yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa.

"Ritual ini menjadi ritual tahunan di beberapa lokasi yang masih dianggap sakral oleh Keraton Solo dan Keraton Yogyakarta. Ada beberapa gunung yang sering dijadikan lokasi labuhan, yaitu Lawu, juga Merapi," jelas Bagio saat berbincang dengan Okezone.

Khusus di wilayah Solo, salah satu tujuan lelaku spiritual (tirakat) adalah gunung Lawu yang juga menjadi salah satu tujuan ritual Keraton Solo. Selama ini gunung Lawu dipercaya sebagai pusat kegiatan spiritual di tanah Jawa dan ada hubungan dekat dengan keberadaan Keraton di tanah Jawa. "Setiap tiap bulan Suro selalu diadakan upacara sesaji di gunung Lawu," lanjutnya.

Selain itu pada malam satu suro ribuan orang berbagai daerah naik ke puncak Gunung Lawu dengan beragam tujuan. Salah satunya sebagai bentuk lelaku. Mereka berkeyakinan, dengan naik ke puncak Pringgodani dan melakukan topo broto (menyepi) di puncak keinginannya bisa terkabul. Ngalap berkah agar terkabul usahanya lancar, naik pangkat dan jika berhasil mereka akan mengadakan selamatan.

"Masih banyak lokasi di gunung Lawu yang masih di sakralkan seperti lereng sebelah utara, yang dipercaya sebagai pusat atau istana makhluk halus," katanya.

Memang masyarakat kejawen meyakini bahwa musibah dan bencana dapat ditolak dengan cara melakukan ritual tertentu di bulan suro. Karena itulah kemudian dikenal beberapa tradisi malam satu suro seperti ruwatan untuk buang sial.

Selain dipercaya sebagai hari lebarannya makhluk gaib, malam satu suro juga dipercaya sebagai hari kembalinya arwah leluhur ke rumah.

Sebagian masyarakat Jawa pada masa lalu lebih sakral lagi dalam menanggapi datangnya pergantian tahun Hijriah. Banyak di antara mereka yang meyakini bahwa di malam satu suro, arwah leluhur yang telah meninggal dunia akan kembali dan mendatangi keluarganya di rumah.

(Martin Bagya Kertiyasa)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Women lainnya