Tidak segan-segan mengeluarkan uang, alias royal dalam hal pengeluaran saat berwisata, lalu sekiranya di aspek manakah para wisatawan Muslim tersebut tidak ragu untuk merogoh kocek cukup dalam? Masih dijelaskan oleh Riyanto, ternyata para wisatawan Muslim ini sangat mengutamakan kenyamanan dalam perjalanan. Maka tak heran, pengeluaran terbesar ada di sektor akomodasi contohnya untuk pesawat dan penginapan. Baru kemudian disusul oleh sektor makanan dan minuman.
“Kalau bicara tourism spending itu 60 sampai 70 persen ada di sektor akomodasi. Mereka maunya bintang hotel 5 atau 5 plus, maunya yang premium nah otomatis spending di situ jadi besar. Kedua baru di sektor makanan dan minuman. Misalnya wisatawan Muslim mancanegara dari Timur Tengah, mereka enggak cocok sama makanan lain selain makanan khas Timur Tengah. Jadi inilah yang harus disesuaikan, kalau makin banyak resto-resto seperti itu yang tersedia di destinasi halal itu akan lebih banyak dikunjungi,” tambah Riyanto.
Dari karateristik seperti yang disebutkan di atas inilah, pada dasarnya kebutuhan-kebutuhan akan wisatawan Muslim bisa dikerucutkan lebih spesifik lagi sehingga Indonesia, yang tahun 2019 ini menargetkan diri sebagai nomor satu Destinasi Pariwisata Halal Terbaik Dunia versi GMTI (Global Muslim Travel Index), bisa lebih baik lagi dalam memenuhi kebutuhan ‘demand’ atau dengan kata lain kebutuhan para wisatawan Muslim baik dari lingkup domestik ataupun mancanegara.
Mengingat, pariwisata halal sendiri disebutkan merupakan salah satu sektor pariwisata dengan tingkat pertumbuhan tercepat di seluruh dunia dan pada akhir dekade ini wisatawan Muslim diperkirakan akan merepresentasikan 10 persen dari industri pariwisata global. Diprediksikan, nantinya pada 2026, kontribusi sektor pariwisata halal terhadap perekonomian global akan meningkat hingga mencapai nilai USD300 miliar, khususnya besarnya pengeluaran wisatawan halal Tourism diprediksikan mencapai USD274 miliar pada 2023.
(Santi Andriani)