Menjelajahi Gunung Sinai, Tempat Tuhan Menampakkan Dzat-Nya ke Nabi Musa

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Jum'at 27 Juli 2018 23:28 WIB
Biara Santa Katerina, diyakini sebagai tempat Semak Berapi, tempat Tuhan menampakkan dirinya pada Nabi Musa
Share :

Setelah Arab Spring pada 2011, turisme di Sinai pun jatuh, dan ini menjadi kekhawatiran besar bagi Hoffler dan Mahmoud. Mahmoud merasa para pemandu Bedouin harus bersatu agar bisa bertahan, dan tidak mengadakan tur pendakian yang terpencar dan terpisah di kawasan itu.

Hoffler pun mencontohkan kesuksesan rute pendakian jarak jauh seperti Jalur Yordania — dan mereka memutuskan bahwa kesempatan terbaik mereka adalah agar berfokus pada satu jalur saja, dan menyatukan komunitas pada satu jalur tersebut.

Mahmoud adalah pemimpin suku Jebeleva yang dihormati di semenanjung tersebut. Dia yang mendekati pemimpin dua suku lainnya dan memilih perwakilan yang punya cukup pengaruh agar bisa mencapai tujuannya.

"Dialah pahlawan tanpa tanda jasa untuk Jalur Sinai," kata Hoffler yang juga menjadi pendiri tapi namanya tak disebut di situs Jalur Sinai. Mahmoud, yang namanya disebut, malah malu dengan perannya itu.

Saya harus menggali cerita akan jalur pendakian ini dari mereka berdua; karena kisah ini tak muncul di tempat lain.

Jalur ini mulai dibuka pada 2015, beberapa minggu sebelum teroris menembak jatuh pesawat Rusia di Sinai, dan semakin menambah kesulitan pada pariwisata di jalur ini (banyak negara masih menyebut kawasan ini sebagai zona merah).

Namun beberapa penghargaan yang diterima pun memunculkan harapan — dan orang-orang Kairo yang suka mengambil risiko, dengan foto-foto virtual perjalanan mereka, kemudian mendorong minat akan perjalanan di jalur ini.

Bergabung dengan 16 pendaki, saya menjadi dekat dengan mereka karena lecet dan luka yang sama. Rasanya sama membingungkannya seperti lanskap berbatu yang tanpa henti menghantam sepatu saya.

Malam pertama, di ketinggian 1.670 meter, kami berkumpul di sekitar api unggun di lembah yang tersapu angin di bawah bintang pada malam hari.

Selama tiga hari ke depan, rutinitas kami sudah tertata, bangun saat matahari terbit, berjalan selama empat atau lima jam, kembali ke area teduh yang minim untuk makan siang — feta dan salad, dengan minyak dan sari yang jatuh ke batu yang panas — dan tidur siang.

Beberapa jam yang sulit kemudian, kami bertemu lagi dengan unta yang membawa perlengkapan kemah kami, dan kami menikmati makan malam serta kisah-kisah di api unggun dari pemandu utama kami dari suku Jebeleya, Nasser Mansour. Kami menutup tenda kami pada jam 20.00.

Selama 20 tahun, Mansour telah memandu para tamu di halaman belakang suku Jebeleya ini (nenek moyangnya pertama datang ke kawasan ini pada abad 6 untuk melindungi biara). Dengan melepaskan urusan logistik, jalur ini telah membuat pendakian ini menjadi lebih mudah baginya. "Seharusnya ini terjadi 10 tahun lalu," katanya.

Dengan semakin lunturnya budaya Bedouin, kisah-kisah Mansour, yang diceritakan secara turun-temurun, terasa seperti sebuah kesaksian. "Orang harus tahu sejarah kami," katanya. "Meihat saja tidak cukup; Anda juga harus mendengar." Meski dia bisa mengenali suku lain dari kejauhan, sebelum adanya jalur pendakian, mereka tak saling berhubungan. Kini mereka bekerja seperti tim estafet. "Ketika kami bekerja bersama, kami jadi lebih kuat," katanya.

"Yalla bina," Mansour berteriak pada satu pagi, mendorong untuk bergegas. "Ayo berangkat."

Saat makan siang, kami sampai di perkemahan dekat Cekungan Elijah, dan membersihkan diri di sebuah sumur menggunakan kaleng minyak zaitun Cretan.

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita Women lainnya