Beberapa pengguna menilai kegiatan tersebut kurang relevan dengan kebutuhan nyata calon pasangan.
“Pak buk kayaknya saya lebih butuh konseling pra-nikah yang mendalam, bukan sekadar yel-yel. Idealnya ada ahli konseling keluarga, psikolog, atau perencana keuangan yang bisa membantu membekali calon pasangan menghadapi tantangan nyata—seperti komunikasi, konflik, ekonomi, kesehatan mental, peran gender, hingga parenting. Yel-yel boleh aja sebagai ice breaker, tapi harus ada materi yang benar-benar substantif dan bermanfaat,” tulis komentar akun @in***n**g.
“Manfaatnya apa? Nanyaa seriuss,” ujar akun @ar**va**p.
“Semoga tepuk-tepuknya ini cuma biar nggak ngantuk aja yaa. Bukan ini konselingnya,” tambah akun @te***sc***cob***.
Menanggapi ramainya diskusi, akun @happydibby pun memberikan klarifikasi bahwa yel-yel ini memang hanya bagian kecil dari ice breaking dalam sesi bimbingan, bukan inti dari materi yang diberikan. Menurutnya, bimbingan pra-nikah tetap menyajikan materi mendalam seputar rumah tangga, sementara yel-yel hanyalah selingan untuk mencairkan suasana agar tidak monoton.
Kontroversi seputar yel-yel “Kakek-Nenek Pijit-Pijitan” ini akhirnya memunculkan diskusi publik yang lebih luas mengenai idealnya isi bimbingan pra-nikah. Sebagian berharap kegiatan tersebut bisa lebih fokus pada pembekalan praktis seperti komunikasi pasangan, manajemen konflik, hingga perencanaan keuangan keluarga, tanpa meninggalkan nuansa hangat dan menyenangkan di dalamnya.
(Rani Hardjanti)