Tanggal 1 Suro memegang kunci penting berjalannya aktivitas di tempat terakhir Sang Raja ini. Ratusan orang dari berbagai kota di Jawa Timur berkumpul untuk berziarah dan melakukan prosesi
napak tilas. Upacara ini diyakini sebagai bentuk penghormatan pada Jayabaya sekaligus ikhtiar untuk membersihkan diri lahir dan batin.
“Kita sebagai anak-cucu Nusantara juga tidak boleh lupa pada pahlawan yang sudah berjuang membangun Nusantara, membabat tanah Jawa di masa lalu,” ucap Eko warga desa Menang, Kediri.
Prosesi ziarah di petilasan sering kali dilakukan dengan berjalan bersimpuh menuju tiga prasasti tempat Sri Aji Jayabaya melakukan moksa. Meski bagi sebagian orang luar terlihat mistis dan tidak biasa, masyarakat setempat memandang tradisi ini sebagai bentuk andhap asor—kerendahan hati dan penghormatan pada leluhur—tanpa memandang agama atau latar belakang.
Banyak cerita dan rahasia yang hidup dan mengakar di masyarakat Kediri. Bagi sebagian orang, kisah ini hanyalah legenda. Namun bagi masyarakat Kediri, moksa Jayabaya adalah warisan nilai
tentang kebijaksanaan, keabadian, dan penghormatan terhadap leluhur.
Plt Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Kediri, Mustika Prayitno Adi menjelaskan bahwa obyek Petilasan Sri Aji Joyoboyo adalah salah satu peninggalan budaya di Kediri yang harus dilestarikan.
“Petilasan tersebut adalah salah satu peninggalan budaya di Kediri yang harus dilestarikan dan ritual sesaji Sri Aji Joyoboyo itu sudah terdaftar sebagai kekayaan intelektual
komunal di Kementrian Hukum pada tahun 2021,” jelas Mustika.
(Khafid Mardiyansyah)