Bagi influencer, flexing kerap digunakan sebagai strategi pemasaran. Menunjukkan barang-barang mewah atau gaya hidup glamor dapat menarik perhatian pengikut, membangun kredibilitas, bahkan mendatangkan peluang bisnis.
Sebagian orang melakukan flexing untuk memenuhi kepuasan ego dan mengekspresikan diri. Mereka merasa bahagia jika mendapat banyak likes dan komentar positif, meskipun hal tersebut sering kali tidak mencerminkan kondisi nyata.
Para peneliti menegaskan bahwa meskipun flexing bisa dianggap wajar dalam masyarakat modern, fenomena ini juga membawa dampak negatif. Jika tidak dikendalikan, flexing dapat menjerumuskan individu pada hutang, kehilangan empati, hingga krisis kepercayaan diri ketika tidak mampu mempertahankan citra yang dibangun.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)