JAKARTA – Bahaya sound horeg bagi kesehatan telinga. Fenomena sound horeg kian menjamur dalam berbagai acara karnaval dan hajatan di sejumlah daerah di Indonesia.
Istilah ini merujuk pada penggunaan sistem pengeras suara bervolume ekstrem, dengan dentuman bass yang sangat keras dan menggema. Meski kerap dianggap sebagai bentuk hiburan yang meriah, kenyataannya sound horeg menyimpan risiko serius bagi kesehatan pendengaran.
Sebuah video yang diunggah oleh akun TikTok @rizkireffa memperlihatkan penggunaan sound horeg dalam sebuah pawai di Desa Ploso, Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar. Suara yang dihasilkan mencapai 130 desibel (dB)—setara dengan suara mesin jet dari jarak dekat. Angka ini jauh melebihi ambang batas aman menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 85 dB untuk durasi maksimal delapan jam paparan per hari.
Menurut Hearing Health Foundation, suara di atas 70 dB sudah dapat merusak pendengaran jika terpapar dalam jangka panjang. Suara sebesar 130 dB berpotensi langsung merusak sel rambut halus di dalam koklea, bagian telinga dalam yang berfungsi menangkap getaran suara.
Kerusakan pada sel tersebut bersifat permanen, karena tubuh tidak dapat memperbaikinya secara alami. Gangguan ini dikenal sebagai noise-induced hearing loss (NIHL), atau kehilangan pendengaran akibat kebisingan.
Beberapa gejala umum akibat paparan suara bising berlebih meliputi:
- Telinga berdenging (tinnitus)
- Rasa penuh atau tersumbat di telinga
- Sulit mendengar percakapan, terutama di tempat ramai
- Penurunan pendengaran secara bertahap atau tiba-tiba
- Dalam beberapa kasus ekstrem, hanya satu kali paparan suara di atas 120 dB bisa langsung menyebabkan gangguan pendengaran.
Anak-anak memiliki sistem pendengaran yang belum berkembang sempurna, sehingga lebih rentan terhadap kerusakan akibat suara keras. Sementara itu, lansia cenderung mengalami penurunan fungsi regenerasi sel, sehingga risiko kehilangan pendengaran menjadi lebih tinggi.
Tak hanya masalah telinga, paparan suara bising ekstrem juga dapat menimbulkan stres, gangguan tidur, kelelahan mental, hingga tekanan darah tinggi.
Berikut perbandingan tingkat kebisingan beberapa suara umum dan waktu aman untuk terpapar dalam seminggu menurut WHO:
Dalam kasus sound horeg, suara keras tersebut diputar dalam durasi yang panjang dan berulang, bahkan bisa berlangsung selama berjam-jam saat acara karnaval atau hajatan. Kondisi ini jelas melampaui batas toleransi yang dianjurkan WHO, dan berpotensi menyebabkan gangguan pendengaran permanen bagi siapa pun yang terpapar, terutama anak-anak dan lansia.
WHO mengampanyekan pentingnya praktik “safe listening” atau mendengarkan secara aman. Berikut langkah-langkah yang bisa dilakukan masyarakat untuk melindungi pendengaran:
- Jaga volume di perangkat audio di bawah 60% dari maksimum.
- Gunakan headphone noise-cancelling agar tidak perlu menaikkan volume.
- Gunakan pelindung telinga (earplug atau earmuff) di lingkungan bising.
- Batasi waktu paparan dan berikan waktu istirahat bagi telinga.
- Jaga jarak dari sumber suara keras seperti speaker besar.
Gunakan aplikasi pemantau kebisingan, seperti NIOSH SLM atau dBTrack, untuk mengukur tingkat kebisingan lingkungan atau perangkat audio.
Kenali tanda awal gangguan pendengaran, seperti sulit mendengar suara bernada tinggi atau mengalami telinga berdenging setelah berada di tempat bising.
Sayangnya, kesadaran publik terhadap bahaya kebisingan masih rendah. Banyak orang menganggap suara keras sebagai hal yang lumrah, tanpa menyadari bahwa dampaknya terhadap pendengaran sering kali tidak terasa secara langsung, namun dapat menimbulkan efek jangka panjang.
Dengan berita ini serta penerapan kebiasaan mendengarkan secara aman, masyarakat diharapkan menjadi lebih waspada terhadap ancaman dari fenomena seperti sound horeg. Selain berisiko merusak pendengaran, volume suara yang ekstrem juga dapat merusak rumah warga, memecahkan kaca, dan menimbulkan gangguan serius terhadap kenyamanan serta kesehatan lingkungan sekitar.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)