JAKARTA - Tidur bukan sekadar waktu istirahat bagi tubuh dan pikiran, tetapi juga memiliki peran krusial dalam menjaga kesehatan kardiovaskular, termasuk tekanan darah. Keterkaitan antara tidur dan tekanan darah telah menjadi fokus banyak penelitian medis, mengingat pengaruhnya yang signifikan terhadap kesehatan jangka panjang.
Artikel ini membahas secara mendalam bagaimana tidur memengaruhi tekanan darah, serta risiko dan solusi dari gangguan tidur yang sering terjadi.
Menurut Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia, tidur yang cukup dan berkualitas dapat membantu menjaga tekanan darah dalam kisaran normal.
Saat tidur, tubuh masuk ke dalam keadaan relaksasi yang mendalam, yang menyebabkan penurunan tekanan darah dibandingkan saat seseorang terjaga. Penurunan ini dikenal dengan istilah nocturnal dipping, di mana tekanan darah sistolik dan diastolik dapat menurun hingga 20%.
Namun, tidak semua orang mengalami penurunan ini secara alami. Mereka yang tidak menunjukkan nocturnal dipping saat tidur cenderung memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit jantung dan stroke. Ini menjadi bukti nyata bahwa pola tidur yang sehat sangat penting untuk fungsi kardiovaskular.
Kurangnya tidur sesekali mungkin hanya menyebabkan kantuk, gangguan suasana hati, atau menurunnya konsentrasi. Namun, jika berlangsung secara terus-menerus, dampaknya bisa lebih serius. Kurang tidur kronis dapat memicu peningkatan berat badan, obesitas, diabetes tipe 2, hingga tekanan darah tinggi.
Penelitian menunjukkan bahwa individu yang tidur kurang dari lima jam per malam, mengalami insomnia, atau tidur yang sering terganggu memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami hipertensi. Menariknya, efek ini ditemukan lebih dominan pada perempuan, khususnya pada usia paruh baya.
Salah satu gangguan tidur yang paling umum dan berdampak besar terhadap tekanan darah adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA). Kondisi ini ditandai dengan tersumbatnya saluran napas selama tidur akibat otot-otot tenggorokan yang terlalu rileks. Akibatnya, penderita OSA mengalami jeda napas berulang yang dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen dalam darah dan sering terbangun secara tidak sadar sepanjang malam.
Diperkirakan sekitar 50% penderita OSA juga menderita hipertensi. Selain itu, OSA juga meningkatkan risiko diabetes tipe 2, fibrilasi atrial (gangguan irama jantung), stroke, bahkan serangan jantung.
OSA lebih sering terjadi pada laki-laki, khususnya mereka yang berusia di atas 40 tahun dan memiliki berat badan berlebih. Faktor gaya hidup, konsumsi alkohol, merokok, serta faktor genetik juga berperan dalam peningkatan risiko terkena OSA.
Penanganan OSA dapat dimulai dari perubahan gaya hidup sederhana, seperti menurunkan berat badan, berhenti merokok, dan membatasi konsumsi alkohol. Jika dicurigai mengalami OSA—terutama jika mendengkur keras atau sering terbangun terengah-engah—seseorang sebaiknya segera berkonsultasi dengan dokter.
Kebutuhan tidur tiap individu berbeda-beda, namun secara umum, orang dewasa disarankan untuk tidur sekitar delapan jam setiap malam. Kurangnya jam tidur sering kali disebabkan bukan oleh gangguan medis, tetapi kebiasaan buruk seperti begadang, terlalu lama menatap layar, atau stres.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk memperbaiki pola tidur di antaranya:
1. Menentukan dan mematuhi jadwal tidur yang konsisten.
2. Melakukan aktivitas fisik secara rutin.
3. Menghindari kafein dan alkohol menjelang waktu tidur.
4. Menciptakan rutinitas sebelum tidur, seperti mandi air hangat atau menuliskan hal-hal yang mengganggu pikiran agar bisa diatasi keesokan harinya.
Tidur yang cukup dan berkualitas bukan hanya kunci dari produktivitas dan kebugaran, tetapi juga menjadi salah satu fondasi utama dalam menjaga tekanan darah tetap stabil. Kurang tidur, kerja shift, hingga gangguan tidur seperti OSA memiliki dampak yang nyata terhadap kesehatan kardiovaskular. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk menyadari pentingnya tidur sebagai bagian dari gaya hidup sehat dan tidak mengabaikan gejala gangguan tidur yang mungkin dirasakan.
(Qur'anul Hidayat)