PEMERINTAH akan melarang pedagang berjualan rokok di jarak 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak. Lantas apakah cara ini efektif mencegah anak muda menjadi perokok aktif di masa depan?
Ya, rencana itu diharapkan dapat mencegah anak-anak usia sekolah membeli rokok. Semakin sulit akses mendapatkan rokok, maka diharapkan semakin kecil kemungkinan kelompok anak-anak untuk merokok. Dengan begitu, generasi muda Indonesia semakin sedikit yang menjadi perokok aktif di masa depan.
Perlu diketahui bahwa rencana itu tertuang di draft Pasal 434 Huruf e Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang merupakan turunan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Lantas, apakah langkah pemerintah ini efektif untuk mencegah anak-anak muda Indonesia menjadi perokok aktif?
Pakar Kesehatan dr Dicky Budiman mengatakan bahwa kebijakan pemerintah untuk melarang penjualan rokok dalam jarak 200 meter dari sekolah itu langkah yang baik. Tapi, bagi dr Dicky upaya itu saja tidak cukup.
"Kalau ditanya efektif atau tidak, itu langkah yang baik, namun melarang pedagang jualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah saja tidak cukup," kata dr Dicky saat dihubungi MNC Portal, Jumat (12/7/2024).
Dokter Dicky melanjutkan, tidak cukup karena perlu diintegrasikan dengan upaya-upaya lain, seperti edukasi literasi hingga peningkatan pajak rokok. Ya, menaikkan pajak rokok adalah kebijakan yang cukup berhasil di negara maju untuk menekan jumlah perokok aktif, khususnya di kelompok anak muda.
"(Menaikan pajak rokok) Ini efektif sekali di negara maju. Makanya, rokok satu pack dijual mahal sekali di negara maju. Misalnya saja di Singapura, harga rokok per pack-nya itu bisa sekitar Rp200 ribu. Lalu, di Australia bahkan bisa sampai Rp300 ribu," ucap dr Dicky.
"Dengan harga rokok yang mahal, itu akan membatasi anak-anak dan remaja untuk beli rokok," katanya.
Selain itu, langkah lain yang perlu dilakukan pemerintah adalah pengawasan yang ketat. Artinya, kata dr Dicky, perlu regulasi yang ketat sehingga menjamin anak-anak dan remaja tidak bisa membeli rokok. Dokter Dicky mengaku miris dengan situasi di Indonesia. Dia melihat sendiri banyak anak-anak yang sebelum masuk sekolah, mereka merokok dulu.
Praktik seperti itu harus dihilangkan, salah satunya dengan konsep denda. Ya, harus ada denda yang terkait dengan praktik merokok sebelum atau sesudah jam sekolah. Target dendanya pun bukan hanya pada si pelaku, tapi orangtua, pihak sekolah, hingga penjual rokok yang tetap menjual rokok ke anak-anak atau remaja.
Sistem denda ini, kata dr Dicky, sudah diberlakukan di negara maju dan hasilnya cukup efektif untuk mencegah anak-anak dan remaja jadi perokok aktif.
"Indonesia perlu belajar dari negara maju yang cukup efektif menjalankan upaya-upaya mencegah anak-anak dan remaja menjadi perokok aktif. Jadi, pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan itu diperlukan untuk menekan kecanduaan rokok di kalangan anak-anak dan remaja," katanya.