Oleh karenanya, jika masyarakat tidak lagi bisa mengakses air dan terjadi krisis, maka kondisi ini akan menjadi ancaman.
Menurut dia, jika hal itu terjadi, dampak krisis air tidak hanya akan dialami oleh masyarakat di Bali saja sebagai pusat destinasi wisata dunia, melainkan juga berpotensi dialami masyarakat global.
Sementara saat diskusi yang sama Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Hilmar Farid mengungkapkan kearifan lokal soal tata kelola air sudah melekat di masyarakat Indonesia.
Selama ribuan tahun, masyarakat Nusantara sudah mengolah air sebagai sumber utama kehidupan.
Kearifan lokal ini menjadi ‘perpustakaan peradaban’ yang sangat besar dan menjadi pembelajaran serta bisa berkontribusi bagi masyarakat global.
“Apabila kita mau mempelajari khazanah itu dengan baik, saya yakin, kita semua akan bisa menemukan solusi atas permasalahan air yang kita hadapi saat ini. Bali telah memiliki basis nilai pengelolaan air yakni solidaritas dan konektivitas. Mereka yang hidup di hilir dan menikmati air dari hulu, juga harus bisa berterima kasih dengan masyarakat di hulu,” ujar Hilmar.
Selama penyelenggaraan World Water Forum ke-10, peserta dan pengunjung juga bisa menyaksikan pameran jejak rempah bertajuk 'Telu, Spice Market, Balinese Culture Art' dan 'Subak Cultural Landscpe' di Museum Pasifika, Nusa Dua, Bali, mulai 21-25 Mei 2024.
(Rizka Diputra)