WAKIL Presiden RI Ma'ruf Amin membuka Rapat Kerja Nasional Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) dan Penurunan Stunting pada Kamis 25 April 2024 di Auditorium Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Jakarta Timur.
Di tahun ini, seluruh target dalam RPJMN 2020-2024 akan dievaluasi, termasuk target prevalensi stunting 14 persen 2024. Dalam rapat kerja tersebut wapres pun meminta ada beberapa hal yang wajib menjadi perhatian.
1. Lakukan evaluasi menyeluruh terhadap program yang sudah dilaksanakan, baik terkait capaian, pembelajaran, maupun rekomendasi. Evaluasi ini penting, agar program yang sudah kita lakukan dapat berlanjut dan menjadi prioritas pemerintahan selanjutnya.
2. Wapres minta faktor-faktor yang menyebabkan capaian penurunan stunting semakin melambat dalam dua tahun terakhir ini, agar diidentifikasi dan dinavigasi. Fokuskan strategi dan pendekatan pada pencegahan terjadinya stunting baru, tanpa mengurangi intervensi pada anak stunting.
Selain itu, arahkan berbagai intervensi kebijakan pada hal-hal yang mempunyai daya ungkit tinggi untuk mempercepat penurunan stunting.
“Selanjutnya, saya minta agar komitmen dan visi pimpinan terhadap program penurunan stunting, baik di Pusat maupun daerah, tetap terjaga, utamanya memasuki masa transisi dan pergantian kepemimpinan di tahun ini,” kata Wapres.
Menuju Indonesia Emas 2045
Kepala BKKBN, dokter Hasto Wardoyo, dalam laporannya menyampaikan bahwa tema Rakernas 2024 seiring dengan arahan Presiden dan Wakil Presiden untuk menyiapkan kualitas SDM dengan sebaik-baiknya.
"Kita tahu bahwa Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 menjadi akhir dari SDGs dan menjadi batu loncatan menuju Indonesia Emas 2045. Untuk itu, kita harus bebas dari kemiskinan ekstrem, kelaparan, di mana stunting juga menjadi bagian di dałamnya," ujar dokter Hasto.
Dokter Hasto juga mengatakan bahwa tugas BKKBN sangat simpel. Pertama, menjaga Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS). Kedua, bagaimana menciptakan keluarga berkualitas. Untuk menjaga pertumbuhan penduduk seimbang, BKKBN menggunakan indikator Total Fertility Rate (TFR) atau angka kelahiran total rata-rata. Disebutkan, TFR Indonesia di 1971 sebesar lima. Bahkan ada yang melahirkan enam hingga 10 anak.
"Dulu, anaknya banyak. Tetapi dengan program pemerintah yang luar biasa dengan jargon 'Dua Anak Cukup', angka rata-rata perempuan melahirkan ditargetkan 2,1 tercapai di 2024. Ternyata di 2022 TFR sudah menyentuh angka 2,18," kata dokter Hasto.

Atas capaian ini, dr. Hasto menyampaikan apresiasi kepada seluruh petugas lapangan sebagai ujung tombak di lapangan, meski disparitas masih terjadi. Ada daerah yang TFR-nya sudah 2,1, seperti di Jawa, Bali, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur. Namun di sejumlah daerah secara keseluruhan frekuensi kehamilan masih cukup memprihatinkan, seperti NTT dan Papua.
"Kesenjangan ini harus bisa dikurangi," kata dr. Hasto.
Dokter Hasto juga mendukung apa yang menjadi target Menteri Kesehatan terkait Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). AKI dan AKB menjadi indikator derajat kesehatan bangsa.
"Satu bangsa dinilai derajat kesehatannya baik kalau AKI dan AKB nya juga baik. Dan dengan KB yang baik dan program yang ada, akan menurunkan AKI dan AKB," tutur dokter Hasto.
Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian, dalam pandangan dokter Hasto, adalah bagaimana pergerakan Age Specific Fertility Rate (ASFR) rentang usia 15-19 tahun. Ternyata, dari tahun ke tahun angkanya turun cukup signifikan.
"Setiap 1000 perempuan kalau ditanya sudah hamil atau melahirkan yang menjawab saat ini di angka 20," kata dr. Hasto.
Bonus Demografi
Turunnya TFR membuat dependency ratio antara penduduk yang bekerja dan tidak bekerja dan konsumtif semakin turun. Terbukti pada 2020 dependency ratio mencapai angka 44,33. Artinya, 100 penduduk yang bekerja menanggung hanya 44 penduduk yang tidak produktif. Puncak bonus demografi ini sesungguhnya sudah terjadi di 2020.
"Kita sering mengatakan bahwa negara ini tengah memasuki bonus demografi. Tetapi secara nasional sebetulnya kita sudah pelan-pelan meninggalkan 'window opportunity' bonus demografi. Hanya saja satu provinsi dengan provinsi lainnya tidak sama," ujar dr. Hasto.
Dengan demikian, dr. Hasto mencoba meluruskan posisi puncak bonus demografi yang ternyata tercapai lebih awal dibanding proyeksi 2015 yang ketika itu diproyeksikan puncaknya terjadi di 2030. Kenapa bonus demografi maju? Menurut dokter Hasto, karena TFR nya turun.
Selain itu, tren orang nikah menurun signifikan. 10 tahun lalu pernikahan terjadi sebanyak dua juta per tahun. Saat ini turun menjadi 1,5 juta pertahun. Tahapan bonus demografi memang tidak merata antar provinsi. Ada provinsi yang sudah masuk tahapan bonus demografi, ada yang sedang berjalan, ada yang agak memprihatin seperti NTT. Bahkan provinsi tersebut belum bisa diramal kapan bonus demografinya dicapai.
"Khusus NTT harus mempunyai perencanaan yang betul-betul mempertimbangkan Grand Desain Pembangunan Kependudukan," tutur dr Hasto.
Selain itu secara teoritis puncak bonus demografi bisa dimundurkan dengan cara melakukan pengereman atas TFR. Sementara itu, meningkatkan kualitas SDM, mau tidak mau harus dilakukan. Ketika kualitas meningkat, bonus demografi akan dicapai. Terkait pertambahan aging population, dokter Hasto berucap, akan otomatis terjadi karena angka harapan hidup penduduk Indonesia meningkat.