Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan pasien dan keluarga serta SOP yang tidak dijalankan juga menjadi penghambat untuk meminimalisir kasus TB di sana. Sebagai contoh ada seorang pasien dr. Dewi yang mengidap TB di usia yang masih muda yaitu 18 tahun.
Namun pasien tersebut memutuskan untuk memberhentikan pengobatan TB-nya tanpa melakukan konfirmasi kepada pihak puskesmas ataupun dokter. Sayangnya, keputusan tersebut pun tidak dilarang oleh orangtuanya.
Pasien tersebut langsung memberhentikan sepihak dengan alasan yang sangat sederhana yaitu merasakan mual saat mengkonsumsi obat TB. Alhasil dia tidak ingin meneruskannya.
“Jadi pasien didiagnosis pada saat itu di puskesmas dan berhenti sendiri tanpa konfirmasi ke puskesmas maupun ke dokter. Ini pun disetujui oleh orang tua. Pasien ini adalah anak tunggal, orangtuanya pekerjaannya petani dengan tingkat pendidikan SD,” katanya.
(Leonardus Selwyn)