TREN kesehatan 2024 diprediksi akan banyak membahas soal isu kesehatan mental. Hal ini juga untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental.
Sebab saat ini belum banyak dari mereka yang belum menyadari tentang pentingnya kesehatan mental, termasuk di dunia kerja. Bahkan menurut laporan MMB Health Trends 2024 di Asia dari Mercer Marsh Benefits, banyak karyawan di perusahaan yang mengalami kesenjangan manfaat kesejahteraan dalam kesehatan mental, kesehatan wanita, dan inklusif.
Sebanyak 56 persen perusahaan asuransi saat ini tidak menanggung masalah kesehatan mental, sosialisasi, dan kesulitan belajar anak-anak, remaja, dan keluarga. Meskipun sebanyak 54 persen asuransi kesehatan di seluruh dunia mengklaim menanggung sesi konseling psikologis atau psikiater, namun pada kenyataannya hanya sebagian yang menanggung maksimal 10 sesi konseling atau bahkan kurang.
Adanya pembatasan inilah dinilai perusahaan belum memberikan dukungan penuh mengenai kesehatan mental bagi karyawannya.

Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Ilmu Keperawatan UI, Prof. Dr. Budi A Keliat, M.App.Sc mengatakan pentingnya upaya pemerintah melakukan langkah-langkah yang lebih komprehensif terkait upaya penanganan kesehatan mental, yang terdiri dari langkah-langkah promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Langkah-langkah ini dapat diwujudkan melalui upaya assessment yang berdasar pada indikator keluarga sehat, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa serta edukasi yang dimulai sejak jenjang Sekolah Dasar, penyediaan obat, serta pelayanan kesehatan jiwa yang layak bagi kelompok disabilitas.
“Semua upaya ini harus dilakukan secara konsisten dan terus dikuatkan oleh semua elemen masyarakat sehingga kasus diskriminasi seperti pemasungan dapat dicegah,” ujar Prof Budi seperti dikutip dari website resmi Universitas Indonesia ui.ac.id.
Upaya penanganan yang dilakukan secara setengah-setengah dapat mengakibatkan dampak jangka panjang yang tidak baik. Dia mencontohkan kasus kekambuhan yang sering terjadi pada pasien Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ).
Menurut Prof Budi, hal tersebut sebenarnya bisa terjadi karena pengobatan gangguan jiwa dengan kondisi akut di rumah sakit jiwa hanya ditanggung selama 23 hari oleh sistem jaminan sosial.
Hal ini menyebabkan pada saat pasien keluar dari rumah sakit, pasien tersebut tidak mendapat pemantauan dari tenaga kesehatan jiwa sehingga mengalami kekambuhan.
“Untuk itulah, maka diperlukan sebuah sistem pelayanan kesehatan jiwa yang komperhensif dan kolaboratif antar lembaga pelayanan masyarakat seperti Puskesmas, Kecamatan, Kelurahan hingga RT/RW untuk melakukan pemantauan bagi penyintas ODGJ,” kata Prof Budi.
(Leonardus Selwyn)