HARI ini, tepat 19 tahun silam, bencana gempa dan tsunami dahsyat melanda Aceh pada Minggu, 26 Desember 2004.
Tragedi memilukan itu menelan lebih 200 ribu nyawa manusia serta meluluhlantakkan sebagian besar wilayah Serambi Makkah. Musibah mahadahsyat itu merupakan tragedi paling memilukan dan membekas di hati masyarakat Aceh.
Kala itu gempa bermagnitudo 9,3 mengguncang Aceh dengan disusul gelombang tsunami setinggi puluhan meter sekira pukul 07.50 WIB. Sontak peristiwa mengerikan itu jadi sorotan dunia internasional hingga menyisakan duka mendalam bagi rakyat Indonesia.
Bagi masyarakat yang ingin mengenang tragedi bencana dahsyat itu, Anda bisa mengunjungi Museum Tsunami Aceh yang berlokasi di Jalan Sultan Iskandar Muda No. 3, Kota Banda Aceh. Museum ini beroperasi setiap setiap hari, mulai pukul 09.00-12.00 WIB dan 14.00-16.00 WIB.
Setiap pengunjung yang datang akan dikenakan tiket masuk sebesar Rp5.000 per orang. Nantinya pengunjung akan mendapatkan satu kartu yang digunakan untuk membuka pintu masuk ke Museum Tsunami.
Pengunjung akan diarahkan untuk memasuki sebuah jalan seperti gang yang ada di dalam ruangan. Bagian kanan dan kirinya dihiasi air terjun. Ketika mulai masuk, jalan tersebut terasa biasa saja. Namun, ketika dua hingga tiga langkah ke depan, pengunjung merasakan rintikan hujan yang membasahi tubuhnya.
Rintikan 'air hujan' ini akan mengiringi perjalanan pengunjung sampai masuk ke dalam aula besar yang berisi foto-foto kejadian tsunami. Banyak sekali foto yang memperlihatkan bangunan runtuh saat tsunami. Perjalanan berlanjut ke sumur doa. Ruangan ini merupakan simbol kuburan massal korban tsunami.
Berbentuk sumur dengan tinggi sekitar 30 meter. Sungguh benar-benar sangat emosional dan akan membawa pengunjung flasback sehingga turut merasakan tragedi mengerikan itu.
Terdapat 3.600 nama korban di sekeliling dinding yang mewakili ribuan korban tanpa ditemukan oleh saudara dan keluarga.
Di bagian paling atas terdapat lafadz Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mempunyai maksud setiap makhluk yang hidup akan kembali kepada-Nya.
Di sebelah sumur doa terdapat jalan kecil yang disebut lorong kebingungan. Lorong ini menggambarkan kondisi para penyintas tsunami Aceh 2004, diumpamakan seperti kesedihan dan kebingungan kehilangan banyak hal, seperti keluarga, harta benda, pekerjaan, bahkan anggota tubuh mereka sendiri.
(Foto: Devi Ari Rahmadhani/MPI)
Di sepanjang jalan terdapat 99 Asmaul Husna (nama-nama Allah yang mulia) sebagai simbol bahwa Dia akan selalu ada membantu setiap hambaNya yang membutuhkan pertolongan, karena segala urusan makhluk di muka bumi ini tak lain berada pada genggamanNya.
Di ujung lorong, pengunjung akan disambut dengan sebuah jembatan dengan atap yang dihiasi bendera dari berbagai negara yang telah membantu Banda Aceh saat terkena bencana tsunami.
(Foto: Agung Bakti Sarasa/MPI)
Ini merupakan suatu bentuk penghormatan untuk negara-negara tersebut. Mulai dari Turki, Republik Ceko, Swedia, Finlandia, Rusia, Malaysia, Singapura, hingga Jepang.
Setelah melewati jembatan, pengunjung kembali disambut dengan berbagai foto ketika bencana tsunami terjadi. Tak hanya itu saja, di sana terdapat ruangan yang memutar video asli kala gempa dan tsunami di Banda Aceh benar-benar terjadi.
Video yang ditayangkan berdurasi 9 menit. Pengunjung akan dibuat merinding kala menyaksikan video tersebut. Kala itu warga Banda Aceh kalang kabut menyelamatkan diri masing-masing. Ada yang berusaha naik ke atas pohon ada yang berlarian tanpa tujuan.
Tidak hanya sampai di situ, dalam video tersebut pun memperlihatkan kondisi Banda Aceh yang langsung berubah total dalam hitungan menit.
Bangunan yang tadinya berdiri kokoh langsung rata dengan tanah dan hanya tersisa puing-puing.
Kala itu, hanya masjid Masjid Raya Baiturrahman yang masih berdiri kokoh, di mana masyarakat banyak berlarian ke sana untuk menyelamatkan diri.
(Foto: Devi Ari Rahmadhani/MPI)
Semua video yang ditayangkan dalam ruangan tersebut tidak boleh direkam. Pengunjung hanya boleh menikmati saja.
Perjalanan berlanjut ke dalam sebuah ruangan yang memperlihatkan gelombang laut seperti seolah-olah terkena tsunami. Ruangan ini sekaligus menjadi penutup perjalanan wisatawan ke Museum Aceh yang penuh emosional itu.
(Rizka Diputra)