KONFLIK antara Palestina dan Israel kian memanas. Kondisi ini menimbulkan banyak simpati dari para tokoh masyarakat sampai selebriti Tanah Air.
Namun, dibalik perseteruan yang terjadi, akankah warga Palestina mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan stres pasca trauma?
Menurut Psikolog Klinis, Disya Arinda kondisi yang terjadi di Palestina bukan lagi membuat warga mengalami PTSD, karena pengalaman traumatisnya terus berlangsung hingga hari ini. Bahkan mungkin, sejak lahir anak-anak disana telah mengalami trauma antargenerasi yang diwarisi keluarganya.
“Kita tidak bisa menyebut ini PTSD. Ini adalah trauma terus menerus yang terjadi berulang-ulang selama setiap hari. Sebanyak 99 Persen dari populasi Gaza, mereka semua menderita trauma secara terus menerus,” ucap Dr. Iman, dikutip dalam akun X milik @disyarinda, Rabu (1/11/2023).

Di tengah konflik yang semakin parah, tentunya belum ada angka pasti soal berapa banyak warga Palestina yang mengalami depresi, kecemasan, stres, trauma, dsb. Sebab, menurutnya bisa bertahan hidup hingga saat ini saja sudah lebih dari cukup, sehingga untuk penanganan psikologis dianggap masih menjadi kebutuhan yang mewah.
Jika dilihat dari teori hirarki kebutuhan, warga Palestina bahkan ikut terseret untuk sekedar memenuhi hirarki kedia yaitu kebutuhan keamanan atau kebutuhan akan rasa aman. Belum lagi jika harus membicarakan tentang kabar duka.
“Mungkin hampir setiap harinya mereka menyaksikan kematian orang tercinta, menguburnya, dan merasakan kehilangan,” ucap Disya.
Sebagian besar dari warga negara berkonflik sudah berlatih untuk bersiap kehilangan yang dicinta karena perang ini. Meski tentu pada akhirnya kehilangan menjadi rasa berkabung yang tidak pernah berujung.
Karena untuk menggambarkan sebuah kondisi berduka yang kompleks dan belum pernah bisa dimengerti hingga saat ini. Disya beranggapan kalau istilah ‘kebal’ rasa takut dan penderitaan, itu semua termasuk dari respons alamiah manusia. Karena mereka yang terlihat tegar sebetulnya hanya membohongi respon tubuh mereka yang merasa sedih.
“Itulah mengapa saat panic attack dan 1000 yard stare karena syok berat,” tutur Disya.
Complex trauma sudah hampir bisa dipastikan karena pengalaman traumatisnya bukan single incident atau yang diakibatkan oleh bencana alam, kriminal yang sekali waktu, tetapi termasuk dari serangkaian peristiwa traumatis. Selain itu chronic stres juga dialami akibat situasi stres jangka panjang dan peningkatan keparahan.
(Leonardus Selwyn)