ORANG Suku Dayak terkenal dengan kulinernya yang ekstrim, seperti memakan tembiluk mentah.
Namun, Suku Dayak juga memiliki keunikan dalam mengawetkan makanan dengan cara fermentasi.
Wadi salah satu cara mengawetkan ikan Suku Dayak. Menariknya pengawetan ini tahan hingga satu tahun, meskipun tanpa menggunakan bahan kimia.
Wadi menjadi budaya kuliner yang tak terpisahkan dari Suku Dayak. Selama berladang atau dalam situasi paceklik, wadi digunakan sebagai cadangan sumber protein.
Wadi merupakan kuliner yang terbuat dari bahan dasar berbagai jenis ikan, terutama yang mengandung banyak lemak dan daging, seperti ikan patin, jelawat, papuyu, gabus, baung, dan gurami.
(Foto: IG/@reystafauzia)
Proses pembuatan wadi dimulai dengan mencuci bersih ikan yang akan difermentasi. Kemudian, ikan ini dipotong seukuran telapak tangan.
Potongan ikan ini ditaburi dengan garam dan didiamkan semalam untuk menghambat aktivitas bakteri yang dapat menyebabkan pembusukan.
Selain garam, daun nangka juga digunakan untuk mencegah ikan yang difermentasi menjadi busuk atau berulat.
Setelah itu, ikan dicuci bersih lagi dan direndam dalam larutan gula aren, lalu ditaburi dengan potongan bawang putih untuk memberikan aroma harum.
Kemudian, ikan tersebut dimasukkan ke dalam wadah kedap air dan udara, lalu ditaburi dengan beras yang telah diolah menjadi berwarna kekuningan.
Jika proses fermentasi berjalan dengan benar, wadi akan menghasilkan ikan yang terfermentasi dengan bau tajam, namun tetap segar dan tidak busuk.
Wadi bisa disajikan mentah atau dimasak. Beberapa wilayah di Kalimantan, seperti Tewang Pajangan, menyajikan wadi mentah dengan jeruk.

Namun, saat ini masyarakat lebih suka menggoreng wadi sebelum menyantapnya. Untuk menambah aroma, wadi juga bisa dimasak dengan campuran rempah-rempah.
Wadi bukan hanya sebagai makan cadangan, tetapi juga sebagai makanan lezat yang kaya akan nutrisi. Wadi mengandung protein sekitar 17,8 persen jika tidak ditambahkan samu. Setelah digoreng, kandungan protein meningkat hingga 28,7 persen.
(Rizka Diputra)