JOGJA Fashion Trend digelar sebagai kiblat fashion etnik di Indonesia. Gak hanya itu, diharapkan juga kain tradisional bisa mendunia.
Artinya, dari acara tersebut diharapkan bisa tercipta tren busana etnik bagi dunia mode wastra Nusantara yang pada akhirnya bisa membuat kain tradisional naik kelas.

Karena itu, beragam wastra Nusantara disuguhkan dalam sesi fashion show. Ada kain batik, tenun, hingga songket. Dengan begitu, penonton acara bisa lebih menyadari bahwa kain tradisional itu bukan hanya batik, tapi masih ada jenis lainya.
Bahkan, masyarakat umum pun memahami bahwa dari kain tradisional itu bisa tercipta produk fashion yang sangat kekinian. Batik bisa disulap menjadi jaket, outer, pun sepatu. Termasuk kain jenis lainnya. Malah, beberapa desainer coba mengombinasikan batik, tenun, dan songket jadi satu.

Ya, sudah menjadi tugas desainer masa kini untuk mahir mengolah kain tradisional menjadi produk kekinian yang dekat dengan generasi muda.
Hal itu dilakukan juga dengan tujuan agar wastra Nusantara semakin lestari di masyarakat. Gen Z tidak merasa malu mengenakan kain, bahkan diharapkan dapat menjadi salah satu jenis pakaian yang diincar saat belanja pakaian.

Desainer Phillip Iswardono menjelaskan bahwa Jogja Fashion Trend adalah gerbang untuk wastra Nusantara semakin diterima generasi muda pun masyarakat dunia. Dari gelaran ini, Gen Z bisa melihat bahwa kain tradisional bisa disulap menjadi pakaian bergaya edgy yang bikin tampilan makin kece.
"Lewat JFT 2023 ini, kami berharap generasi muda semakin mencintai wastra dan mau memakainya dalam kehidupan sehari-hari," jelasnya saat berbincang dengan media di Pakuwon Mall Jogja, belum lama ini.
Selain lewat pertunjukan fashion, peran media sosial tentu diperlukan juga sebagai medium Gen Z lebih kenal dengan wastra Nusantara. Dua hal itu, kata Phillip, penting supaya anak muda paham dan bangga dengan budaya asli mereka.
"Anak muda sudah sangat dekat dengan media sosial, karena itu kami sebagai desainer juga perlu memaksimalkan media sosial sebagai medium menyiarkan wastra Nusantara ini, termasuk berinovasi terus supaya kain tradisional tidak ditinggalkan," tambah Phillip yang dalam gelaran Jogja Fashion Trend bertugas sebagai creative director.
Senada dengan Phillip, desainer batik legendaris Afif Syakur juga melihat bahwa wastra Nusantara semakin ke sini semakin banyak diminati anak muda. Tinggal sekarang terus mengedukasi Gen Z agar lebih menghargai hasil pengrajin wastra Nusantara.
Dia mencontohkan batik misalnya, sudah saatnya masyarakat paham bahwa batik printing itu bukan bagian dari batik, melainkan tekstil yang memiliki motif batik.

"Kami cukup yakin, dengan terus mengedukasi masyarakat soal pentingnya memahami wastra Nusantara, akan membuat orang-orang bisa lebih menghargai karya asli pengrajin ketimbang beli printing batik," katanya.
Ia tak menyalahkan keadaan yang mana akan tetap ada pembeli printing batik, karena alasan harga yang sangat rendah. Tapi, jangan sampai lupa juga untuk terus menginformasikan ada jenis batik yang lebih 'affordable' yaitu batik cap atau kombinasi (cap dan tulis).

"Desainer dan pengrajin wastra juga pastinya terus berkembang, salah satunya berinovasi dan sebisa mungkin menghasilkan produk fashion yang terjangkau. Bagaimana pun warisan wastra akan tetap lestari jika dipakai dalam keseharian yang artinya dibeli," papar Afif, pemilik jenama Apip's Batik.
Produk wastra Nusantara sangat mungkin mendunia!

Bukan rahasia lagi bahwa pasar dunia menyukai wastra Nusantara milik Indonesia. Masih ingat dengan brand Dior yang menggunakan kain endek Bali di Paris Fashion Week?
Beberapa jenama Tanah Air yang fokus pada koleksi etnik juga sukses melangsungkan gelaran show di luar negeri. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa wastra kita punya pasarnya di luar negeri dan semestinya ini dimanfaatkan oleh jenama Indonesia, pun UMKM.
Terlebih, Bank Indonesia punya program inkubasi yang mewadahi para UMKM untuk 'go global'. Di Yogyakarta sendiri, sudah ada beberapa jenama fashion etnik yang melakukan ekspor ke luar negeri.
"Walau, produk kriya dari kayu masih mendominasi, tapi brand fashion pun sudah mulai dilirik pasar ekspor," ungkap Kepala Perwakilan Bank Indonesia DIY Budiharto Setyawan.
Menurutnya, tidak ada yang tidak mungkin selama kualitas dan kemampuan produksi mampu disanggupi para UMKM yang mau mendunia. Sebab, dua hal itu menjadi poin penting untuk bisa sukses di pasar dunia.

Ya, kualitas perlu dijaga karena menyangkut kredibilitas Indonesia itu sendiri di mata dunia. Nah, kalau soal kemampuan produksi, ini masih belum bisa disanggupi beberapa jenama fashion level UMKM.
"Ketika negara Amerika Serikat misalnya minta produksi 1.000 item, tapi beberapa UMKM gak bisa karena keterbatasan alat dan sumber daya manusianya. Ini yang kami coba dorong. Kalau soal kualitas mah banyak yang sudah sangat oke," papar Budi.
Jadi, dengan hadirnya Jogja Fashion Trend ini, bukan cuma menjadi gerbang wastra Nusantara ke kancah Internasional, tapi juga bisa diterima di pasar dunia. Dengan begitu, eksistensi kain tradisional Indonesia bisa diakui secara global. Tentu ini jadi kebanggaan tersendiri bagi kita sebagai anak bangsa, kan?
(Helmi Ade Saputra)