Sayangnya, cara yang sama tidak bisa diterapkan untuk para relawan. Jika menyangkut para sukarelawan, maka hal yang paling pertama kali dilihat adalah mereka tidak mengizinkan anak kecil untuk merawat pasien, karena terlalu sulit. Mereka pun akan diberikan pelatihan satu setengah hari sebelum menjadi sukarelawan.
"Dan salah satu hal yang kami tekankah adalah apakah mereka bisa merawat diri sendiri? Jika mereka bisa merawat diri sendiri maka kami bisa meloloskannya," katanya.
"Nah, pernah ada kejadian, seorang wanita yang ingin menjadi sukarelawan. Tapi, ketika sesi wawancara tiba-tiba dia menangis. Jadi saya memberitahunya. Saya katakan, mungkin Anda harus kembali lagi lain kali," jelas Juliet.
"Karena salah satu keluarganya meninggal di sini. Dan dia ingin menjadi sukarelawan di sini. Tapi semua emosi itu kembali, dan dia mulai menangis ketika saya menceritakan kisah-kisah sedih tentang para pasien," tutur dia.
Mereka pun akan diberikan waktu istirahat hingga enam bulan, setelah menghadapi kejadian buruk tersebut. Yang pasti, konsultasi akan selalu diberikan pada mereka yang meminta.

Satu hal yang juga dikembangkan untuk mendukung bagaimana dapat meninggal dengan harga diri, adalah program "Tidak Ada yang Meninggal Sendirian".
"Jadi tidak ada yang meninggal sendirian. Kami memiliki pasien yang tidak memiliki dukungan keluarga. Jadi ketika mereka meninggal, tidak ada orang yang datang menemani mereka," katanya.
"Jadi, yang dilakukan relawan adalah mereka menemani pasien ini, dan kira-kira pada 72 jam terakhir pasien atau 48 jam terakhir. Mereka berada di sisi para pasien, menemani mereka di saat-saat terakhirnya," tambah dia.
Menurutnya, perawatan paliatif selalu tentang bagaimana kehidupan dan kematian adalah hal yang normal. Ya, setiap orang pasti akan mengakhiri hidupnya, tapi apa yang bisa kita lakukan di akhir hidup adalah pilihan, mau pasrah atau meninggal dengan harga diri?
(Martin Bagya Kertiyasa)