Kasus bunuh diri di kalangan remaja semakin banyak terjadi. Berdasarkan hasil penelitian Global School-Based Student Health Survey (GSHS) pada tahun 2015 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan ditemukan 5,2% remaja memiliki ide bunuh diri, 5,5% sudah memiliki rencana bunuh diri, dan 3,9% sudah melakukan percobaan bunuh diri.
Hasil ini didapat setelah pelajar SMP dan SMA dengan jumlah responden mencapai 10.837 siswa diberi pertanyaan seputar bunuh diri. Fakta tersebut tentunya sangat mengejutkan banyak pihak. Ide bunuh diri, ancaman, dan percobaan bunuh diri adalah hal serius yang harus segera ditangani oleh banyak pihak, entah itu sekolah maupun keluarga.
Salah satu caranya adalah melakukan langkah preventif seperti menemukan faktor risiko penyebab bunuh diri pada remaja dan pola pengasuhan. Menurut dokter spesialis kejiwaan, Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ yang baru saja menyelesaikan disertasi berjudul ‘Deteksi Dini Faktor Risiko Ide Bunuh Diri Remaja di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/ Sederajat di DKI Jakarta’, ada beberapa faktor yang harus diwaspadai.

Pertama adalah pola pikir abstrak yang menimbulkan perilaku risk-taker. Kedua, transmisi genetik yang dapat menimbukan sifat agresif dan impulsif. Ketiga, memiliki riwayat gangguan jiwa lain. Keempat, lingkungan sosial yang tidak mendukung. Kelima, penyalahgunaan akses internet.
“Beberapa faktor risiko tersebut merupakan alasan remaja memiliki ide bunuh diri,” terang dokter yang akrab disapa Noriyu itu saat dijumpai Okezone dalam sebuah acara di kawasan Depok, Jawa Barat belum lama ini.