Pagi itu, Pasar Suruh ramai sekali. Pun di konter-konter akik. Pak Bunder yang kerjanya jadi pedagang bakso dorong suka mangkal di depan los para penjual akik. Awalnya, Pak Bunder menyikapi biasa-biasa atas fenomena akik yang laris manis kala itu.
Tapi akhirnya, hatinya luluh juga untuk ikut-ikutan mencermati keindahan batu akik yang dijual di situ. Tergerak oleh hatinya yang ngebet untuk memakai akik menarik, Pak Bunder membeli satu cincin akik berwarna hijau lumut. Pak Bunder tak peduli nama akik itu. Hanya suka warna dan embannya yang menarik saja.
Akik lalu dipakai saat itu juga. Apa yang terjadi kemudian? Entah dari mana datangnya, datang serombongan orang merubung gerobak baksonya. Hanya dalam tempo singkat baksonya laris manis. Setelah rombongan itu hengkang, ada lagi beberapa orang pembeli datang. Pak Bunder merasa bersukacita. “Nasib mujur ini, apakah karena saya memakai cincin akik ini, ya…?” pikirnya.
Tidak seperti biasanya, hari belum terlalu sore, Pak Bunder sudah pulang kandang. Esoknya, akik itu dipakainya lagi saat berjualan bakso. Ekh, hasilnya seperti kemarin. Laris manis. Padahal kualitas bakso Pak Bunder biasa-biasa saja. Pak Bunder amat bersyukur.
Masih belum yakin akan khasiat akik. Suatu hari dia sengaja berjualan dengan tidak mengenakan batu akik. Lhadalah, hasil penjualannya jeblok. Pak Bunder yang otaknya memang pinter, lalu mengembangkan usahanya. Hidupnya menjadi lebih ngglenter dibanding sebelumnya. “Matur nuwun, Gusti Allah. Akik ini cuma perantara rezeki, namun yang menentukan tetap Panjenengan Dalem.”
(Muhammad Saifullah )