Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Heboh Kasus Uniqlo di Denmark, Ini Sejarah dan Perkembangan Bisnis Fast Fashion

Dimas Andhika Fikri , Jurnalis-Sabtu, 06 April 2019 |14:42 WIB
Heboh Kasus Uniqlo di Denmark, Ini Sejarah dan Perkembangan Bisnis Fast Fashion
Terkuak kasus pekerja Uniqlo yang tak dibayar (Foto: Instagram)
A
A
A

INDUSTRI fast fashion dunia tengah dilanda berita kurang mengenakkan setelah dua pekerja asal Indonesia melakukan aksi demonstrasi di depan salah satu gerai baru Uniqlo di Copenhagen, Denmark. Berdasarkan unggahan Instagram @cleanclothescampaign, pekerja bernama Warni dan Yayat itu menuntut hak mereka yang belum dipenuhi oleh kerajaan bisnis asal Jepang tersebut.

Dalam situs resminya, Clean Clothes sebagai aliansi global yang gencar dalam memperjuangkan hak para pekerja garmen dan sportwear menyebutkan, Uniqlo masih menunggak hutang kepada Warni dan Yayat, setelah pabrik tempat mereka bekerja ditutup secara mendadak pada 2015 lalu.

Baca Juga : Mengenal Glynn Scotty Wolfe, Pemecah Rekor Pria yang Paling Sering Menikah di Dunia

 

Isu tersebut secara tidak langsung mencoreng imej Uniqlo yang selama ini mengklaim bahwa perusahaan mereka berbeda dengan ritel fashion dunia lainnya. Mereka mengklaim bahwa bisnis fashion yang didirikan oleh Tadashi Yanai itu sangat spesial, unik, dan berkelanjutan (sustainable).

Ironisnya, beberapaa waktu lalu, kanal Ekonomi Okezone juga sempat membahas secara rinci tentang kekayaan yang dimiliki oleh sang empunya perusahaan. Berkat bisnis fast fashion besutannya itu, Tadashi Yanai dinobatkan sebagai orang terkaya di Jepang. Data Bloomberg menaksir kekayaan Yanai mencapai USD24,8 miliar. Jika dikonversi ke rupiah, nilai tersebut setara Rp353 triliun. Estimasi kurs Rp14.235 per USD.

Dari fakta tersebut, akan sangat menarik untuk menyelami lebih dalam sejarah didirkannya Uniqlo yang kini didapuk sebagai salah satu Fast Retailing terbesar di dunia.

Sejarah Uniqlo

 

Tidak ada keberhasilan yang instan. Ungkapan ini sangat pas untuk menggambarkan perjuangan Yanai dalam membangun kerajaan bisnisnya yang sudah berusia 35 tahun.

Tadashi Yanai lahir pada 7 Februari 1949 di Ube, Prefektur Yamaguchi. Ketertarikannya menekuni usaha pakaian diturunkan dari sang ayah, yang merupakan penjual pakaian. Ayah Yanai memiliki toko pakaian pria bernama Ogori Shoji. Tokonya berada di lantai pertama, sedangkan lantai kedua dipakai untuk tempat tinggal mereka.

Namun di masa remaja, Yanai lebih memilih menimba ilmu di perguruan tinggi. Usai lulus dari Universitas Waseda dengan gelar bidang ekonomi politik pada 1971, ia memilih untuk bekerja di tempat lain. Yaitu menjual pakaian dan peralatan dapur di supermarket Jusco. Setahun kemudian, ia berhenti dan mulai bekerja untuk ayahnya.

"Pada awalnya saya termotivasi untuk bekerja. Tapi ayah meminta saya untuk bergabung. Mulanya saya merasa bosan, tetapi akhirnya saya menemukan ini sebagai hal menyenangkan. Saya menyesal pernah mendapat pekerjaan di tempat lain," bebernya.

Pada 1984, Yanai membangun Unique Clothing Warehouse di Hiroshima, yang nantinya disingkat menjadi Uniqlo. Beberapa tahun kemudian, ia mengubah nama perusahaan pakaian ayahnya menjadi Fast Retailing.

Perusahaan pun tumbuh cepat seperti namanya. Pada 1996, Yanai telah memiliki lebih dari 200 toko di seluruh Jepang. Dan produk paling populer yang mengangkat nama Uniqlo adalah jaket bulu yang dijual USD15 pada 1998. Diperkirakan satu dari empat orang di Jepang telah membeli jaket bulu Uniqlo pada tahun itu.

Saat ini, gerainya telah mencapai lebih dari 2.000 toko yang tersebar di 20 negara, termasuk Indonesia.

Dalam sebuah wawancara dengan Vault Magazine pada 2011, Yanai membeberkan kunci keberhasilannya. "Jika ingin berhasil adalah melayani semua orang. Uniqlo didesain untuk semua orang, baik itu kalangan miliarder, kelas menengah, dan kelas bawah," tukasnya.

Perkembangan industri Fast Retailing

 

Bicara soal perkembangan bisnis Fast Retailing sendiri sebetulnya sangat menarik untuk dikulik. Fast Retailing hadir sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Mereka bermain dengan produk berharga miring, tanpa tahu dampak yang ditimbulkan. Sebut saja limbah pakaian yang semakin menumpuk, penggunaan sumber daya alam yang berlebihan, dan isu-isu penting lainnya seperti yang tengah dihadapi oleh Warni dan Yayat.

Belum lama ini, Founder IFC Ali Charisma pernah menjelaskan geliat industri fast fashion dunia kepada Okezone. Dalam artikel berjudul “Mengenal Fast Fashion dari Sudut Pandang Designer Ali Charisma, Pencinta Mode Mesti Tahu!”, Ali menuturkan bahwa meski tren Fast Retailing ini luar biasa sekali mewabah, namun bagi orang fashion mereka ternyata masih mencintai slow fashion atau koleksi busana yang dibuat seorang designer.

Lebih jauh, Ali menceritakan, ada perubahan tren di dunia seperti di Eropa, yang fast dan slow fashion sudah tercampur.

“Mereka sudah tidak lagi mengandalkan Fast Retailing, khususnya untuk outer atau jaket. Palingan masih pake fast fashion hanya untuk basic atau dalemannya," ungkapnya.

Dengan kata lain, untuk luarannya, pencinta mode di Eropa itu menggunakan jaket atau outer yang dibuat designer. Hal ini guna memberikan statement yang jelas pada tampilan.

Baca Juga : Ngeri, Ini Ciri-Ciri Orang yang Paling Disukai Jin!

Menariknya, sebagian besar produk fashion yang dibuat oleh desainer Indonesia ternyata sudah mengusung konsep skow fashion sejak bahan mentah pakaian tersebut.

“Misalnya saja tenun dan batik yang mana pengerjaannya dengan tangan manusia. Makanya, hal ini yang kemudian dianggap hebat dan luar biasa bagi bangsa luar. Sebab, untuk melakukan proses pengerjaan pembuatan koleksi sama seperti designer Indonesia, designer luar negeri mesti merogoh kocek begitu besar,” tutup Ali.

(Dinno Baskoro)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita women lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement