 
                But Bumi Manusia has been around for +30 years, it’s only logical that people have high expectation if it’s made into a movie. It is an intergeneration book, you’re not the only one who wants to watch it, your father/mother might want to.
— kaia. (@salsnadia) 25 Mei 2018
saya aja baca bumi manusia saat masuk kampus, ga perlu ada yg di salahka tentng itu, yg perlu di perhaikan adlah bgaimana anak2 suka baca buku saat di Sd,Smp,Sma. sehingga pengetahuan nya semakin k asah
— عبدالجليل Alil (@Abd_Jalil_) 28 Mei 2018
Kaia salsnadia menulis, buku yang sudah ada selama lebih tiga puluh tahun ini adalah sebuah karya antar generasi yang (filmnya) akan ditonton bukan hanya Anda saja, tetapi juga orangtua Anda.
Salah satu ahli sastra Indonesia yang juga mengikuti perkembangan masyarakat adalah Profesor Sapardi Djoko Damono dari Universitas Indonesia. Penyair yang juga pernah menulis buku berjudul Alih Wahana (2014) tentang perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis lain ini bisa menjadi jembatan antara generasi yang lebih tua dengan milenial.
"Itu untuk menjual karya sastra (ke generasi yang lebih muda). Menjual film supaya laku. Itu saja. Bukan bagus atau tidak. Orang jualan bagus apa? Nggak ada masalah. Itu jualan kok. Orang bikin film kan jualan. Kan biaya besar, harus kembali dan untung," Sapardi menjelaskan.