Tiga prasasti dari batu-batu itu sebagai tanda pembentukan wilayah penyebaran adat dan masyarakat etnis Minangkabau tempo dulu, yang dipecah menjadi tiga wilayah yakni Luak Tanah Datar, 50 Kota dan Agam yang ketiganya kemudian menjadi daerah administrasi Kabupaten hingga saat ini,” katanya.
Berdasarkan penuturan Zamaludin Datuk Mangkuto, sesuai dengan Tambo yang berisi ceritas asal usul Minangkabau, sebelum masuk Kerajaan Adityawarman daerah tersebut sudah dipimpin oleh dua orang bersaudara keturunan Sultan Iskandar Zulkarnain (Alexander The Great).
Salah satu anak dari Sultan Iskandar Zulkarnain, Datuk Maharaja Diraja atau Datuak Suri Dirajo menikah dengan Puti Indo Julito dengan anaknya Sutan Paduko Basa.
Sepeninggal Datuk Maharaja Diraja, Puti Indo Julito, dikawini oleh Cati Bilang Pandai melahirkan Pandai Jatang Sutan Balun dengan gelar Datuak Perpatiah Nan Sabatang serta saudara-saudara lainnya. Puti Jamilan, Sutan Sakalap Dunia, Puti Reno dan Mambang Sutan.
Selanjutnya setelah mereka dewasa Cati Bilang Pandai untuk mengangkat, Sutan Paduko Basa dengan gelar Datuak Katumangguangan dan Jatang Sutan Balun dengan gelar Datuak Perpatiah Nan Sabatang serta Sutan Sakalap Dunia dengan gelar Datuak Suri Marajo Nan Banego-nego sebagai penghulu-penghulu yang akan membantu beliau.
Keputusan ini dimufakati di atas Batu Nan Tigo atau Batu Tigo Sajarangan yang masih ada peninggalan situsnya, mereka meminumkan air keris Si Ganjo Erah dengan sumpah setia: Bakato bana, babuek baiak, mahukum adia, bilo dilangga, ka ateh indak bapucuak, ka bawah indak baurek, di-tangah-tangah digiriak kumbang atau Berkata benar, berbuat baik, menghukum adil. Bila dilanggar (ibarat sebatang pohon), ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, di tengah-tengah digirik kumbang pula.”
Dalam upacara tersebut Puti Indo Julito menyerahkan pusaka keris Siganjo Erah dan Siganjo Aia serta Tungkek Janawi Haluih kepada Datuak Ketumangguangan. Untuk Datuak Parpatiah Nan Sabatang menerima keris Balangkuak Cerek Simundam Manti dan Simundam Panuah serta Payuang Kuniang Kabasaran.
Di bawah kepiawaian kedua Datuak Ketumangguangan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang sistem pemerintahan adat menjadi semakin kemilau. Hingga beberapa dekade kemudian kedatangan Adityawarman yang kemudian menikah dengan saudara perempuan Datuak Ketumangguangan bernama Puti Reno yang kemudian membuat kerajaan Pagaruyung
Menurut Tambo kekuasaan Adityawarman hanya terbatas di daerah Pagaruyung, sedangkan daerah lain di Minangkabau masih tetap berada dibawah pengawasan Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk ketumanggungan dengan pemerintahan adatnya.
Dengan demikian di Pagaruyung Adityawarman dapat dianggap sebagai lambang kekuasaan saja, sedangkan kekuasaan sebenarnya tetap berada di tangan kedua tokoh pemimpin adat tersebut, hal ini menyebabkan pengaruh Budha yang dibawa ke Pagaruyung tidak menyebar.
“Dalam Tambo mengatakan bahwa Adityawarman walaupun sudah menjadi raja yang besar, tetap saja merupakan seorang sumando (ipar) di Minangkabau, artinya kekuasaannya sangat terbatas,” terangnya.
(Fiddy Anggriawan )