“Intinya itu remaja mulai mengurangi frekuensi kebersamaan dengan orangtua atau keluarga. Jadi mengurangi, untuk lebih ke diri sendiri maksudnya ke pengembangan diri si anak. Caranya itu ada yang yang melakukan kegiatan minatnya sehingga mengurangi frekuensi bersama keluarganya. Dia ingin membuktikan tentang ke’aku’annya, bahwa dia bisa me-manage dirinya sendiri,” imbuhnya.
Untuk masalah kapan orangtua bisa yakin melepas anak bersama teman-temannya, bergantung kepada profil keluarga masing-masing. Vera menambahkan bahwa setiap keluarga memiliki takaran sendiri terhadap waktu menghabiskan liburan.
“Ada takaran destinasinya yang ke luar negeri, lokal atau daerah sekitar cuma pergi nonton bareng, itu tergantung bagaimana keluarganya mengizinkannya sejauh mana. Kalau lepas keluar kota, kita cari tahu kemana dulu, ke rumah sahabat atau bagaimana. Karena aspek keselamatan anak itu penting, naik apa bagaimana itu penting. Maka ada trialnya, misalkan anak pada usia tertentu di sekolahnya ikut study tour, sebenarnya itu sudah cukup dengan mengetahui itinerary anak,” timpalnya.
Jika anak memang sudah terbiasa mandiri, seperti ke sekolah naik kendaraan umum, ketika pergi bersama teman-temannya, maka dia akan baik-baik saja. Namun kondisi ini berbeda dengan anak yang sehari-harinya ke sekolah diantar oleh supir.
“Saat usia sekolah kalau kita lihat anak-anak SD kadang-kadang suka main sama-sama. Kalau remaja mereka lebih sering untuk main bersama teman-temannya. Kalau dilepas sama orangtua itu tidak apa-apa ketika orangtua memahami anaknya sendiri. Tahu apa hobi anaknya, siapa teman-temannya, sehingga kalau memang komunikasi antara orangtua dan anak adalah trusty, terbuka satu sama lain, tidak ada masalah. Anaknya akan cerita tentang kehidupannya, teman-temannya itu tidak masalah,” papar Vera.