JAKARTA – Selama ini HIV kerap dianggap hanya menyerang orang dewasa. Padahal, anak-anak juga berisiko terinfeksi HIV, baik sejak dalam kandungan maupun setelah lahir. Sayangnya, stigma terhadap HIV masih membuat kasus pada anak sering luput dari perhatian, padahal kondisi ini memerlukan penanganan medis dan dukungan psikologis yang khusus.
HIV pada anak memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan pada orang dewasa. Tanpa penanganan yang tepat, dampaknya bisa memengaruhi tumbuh kembang, kualitas hidup, hingga kesehatan mental anak.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan hingga Juni 2025, dari total 353.694 orang dengan HIV (ODHIV) yang telah mengetahui statusnya, sebanyak 10.533 orang atau sekitar 3 persen merupakan anak dengan HIV (ADHIV).
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014, anak didefinisikan sebagai individu berusia hingga 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kelompok ADHIV pun mencakup rentang usia yang cukup luas, dengan rincian sebagai berikut:
Usia ≤ 4 tahun: 1.395 anak (13,2 persen)
Usia 5–12 tahun: 4.162 anak (39,5 persen)
Usia 13–15 tahun: 1.664 anak (15,8 persen)
Usia 16–18 tahun: 3.312 anak (31,5 persen)
Angka tersebut menunjukkan bahwa HIV pada anak masih menjadi persoalan kesehatan yang nyata dan membutuhkan perhatian bersama, baik dari keluarga, tenaga kesehatan, hingga pemerintah.
Mayoritas kasus HIV pada anak terjadi melalui transmisi vertikal, yakni penularan dari ibu kepada anak. Penularan ini dapat berlangsung saat kehamilan, proses persalinan, maupun melalui pemberian ASI.
Selain itu, meskipun relatif jarang, penularan juga bisa terjadi secara horizontal. Contohnya melalui penggunaan jarum suntik secara bergantian, alat tindik atau tato yang tidak steril, serta paparan darah yang terkontaminasi virus HIV.
Pada kelompok usia remaja, risiko penularan dapat meningkat akibat perilaku seksual yang tidak aman. Masa remaja merupakan fase yang rentan karena tingginya rasa ingin tahu, pengaruh lingkungan, serta potensi eksploitasi seksual. Minimnya edukasi kesehatan reproduksi juga membuat remaja lebih berisiko terpapar HIV maupun infeksi menular seksual lainnya.
Oleh karena itu, edukasi sejak dini menjadi sangat penting. Remaja perlu memahami hak atas tubuhnya sendiri, pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, serta keberanian untuk menolak dan melaporkan situasi yang membahayakan diri mereka.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)