JAKARTA - Saat anak melakukan kesalahan, reaksi pertama orangtua adalah meminta mereka untuk segera mengucapkan kata "maaf". Namun, sebuah pendekatan edukasi yang menarik dan inspiratif dari seorang pendidik di Jerman menunjukkan bahwa metode tersebut mungkin tidak sepenuhnya efektif dalam mengajarkan esensi empati dan tanggung jawab. Anak tidak belajar empati dari hukuman atau paksaan, melainkan dari pengalaman langsung untuk memperbaiki kesalahan yang mereka perbuat.
Penting untuk dipahami bahwa fokus utama dalam mendidik anak bukanlah sekadar meminta maaf, tetapi membantu mereka mengerti mengapa permohonan maaf itu diperlukan.
Dilansir dari unggahan Instagram pribadi Vicky Nastasha, Senin (11/8/2025) yang merupakan Childhood Educator & Parenting Consultant di Jerman, ia menceritakan pengalamannya di sebuah taman kanak-kanak Jerman, alih-alih terburu-buru menyuruh anak bilang kata ”maaf”, para guru mengajukan pertanyaan yang berfokus pada solusi, yaitu "Apa yang bisa kamu lakukan supaya dia merasa lebih baik?".
Pertanyaan sederhana ini membuka pintu bagi anak untuk berpikir secara mandiri. Jawaban dari anak bisa jadi hal-hal yang sangat sederhana, seperti mengambilkan plester, memberikan tisu, membantu temannya berdiri, atau bahkan sekadar memeluk.
Namun, di balik tindakan-tindakan kecil tersebut, anak-anak sedang belajar sesuatu yang jauh lebih fundamental dan berharga. Mereka belajar empati, yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan tanggung jawab, yaitu kemauan untuk mengambil tindakan.
Kisah nyata yang dialami oleh seorang guru di Jerman ini terbukti efektif ketika menggunakan pendekatan tersebut. Setelah seorang muridnya secara tidak sengaja menyakiti si guru, orangtua anak itu tidak langsung memarahi. Sebaliknya, mereka mengajak anak tersebut untuk merenung dan berpikir.
Keesokan harinya, anak itu datang ke sekolah dengan membawa sebuah gambar bertuliskan "minta maaf" dan sebuket bunga yang ia petik dari jalan. Bunga tersebut ia berikan sebagai tanda permohonan maaf yang dimana bukan sekadar ucapan yang dipaksakan. Hal ini adalah permohonan maaf yang datang dari pemahaman anak tentang kesalahan dan niat untuk memperbaiki, bukan karena takut hukuman.
Kisah ini [mengajarkan] kita semua terkhususnya para orangtua bahwa pendidikan sejati, terutama dalam hal karakter, tidak melulu tentang menuruti aturan, tetapi tentang menumbuhkan kesadaran.
Dengan memberikan kesempatan bagi anak untuk berpikir dan bertanggung jawab atas tindakannya, kita membantu mereka tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijak, kuat, dan penuh kasih.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)