Pada masa itu, wilayah pedalaman memiliki keterbatasan akses terhadap informasi dan dakwah agama. Meskipun masyarakatnya sudah memeluk ajaran agama, namun pemahaman mereka tentang syariat belum sedalam masyarakat di wilayah pesisir utara Jawa yang lebih terbuka secara mobilitas dan informasi.
“Fenomena ini hanya terjadi di kawasan pedalaman, seperti daerah Ngapak Banyumasan, Temanggung, dan Cilacap bagian dalam—bukan di kawasan pesisir selatan yang lebih mudah diakses. Ini adalah fenomena sosial yang sifatnya lokal,” ujarnya.
Mengapa Terjadi di Pedalaman Jawa?
Latif menuturkan, tradisi Gowok tidak berkembang di wilayah pesisir karena di daerah tersebut pengaruh agama dan budaya luar lebih cepat masuk. Penyebaran ajaran agama yang lebih kuat di wilayah pesisir membuat tradisi semacam ini sulit bertahan.
“Penyebaran agama di pedalaman berlangsung lebih lambat dibandingkan di Pantura. Karena itu, tradisi-tradisi lokal seperti Gowok masih bisa bertahan antara tahun 1900 hingga 1950-an,” jelasnya.
Pria Muda vs Gowok si Wania Matang
Dia juga menambahkan, pria yang mengikuti tradisi ini umumnya sudah memasuki usia pernikahan, yakni sekitar usia 20-an. Sedangkan perempuan yang menjadi Gowok biasanya adalah perempuan dewasa berusia antara 20 hingga 40 tahun dan sudah berumah tangga.
“Meski belum ada data tertulis yang valid, dari informasi yang kami himpun, usia perempuan yang menjadi Gowok berkisar antara 20 hingga 40 tahun, dan mereka bertugas ‘mendidik’ laki-laki yang akan menikah,” pungkasnya.
(Rani Hardjanti)