Merasa wilayahnya aman dari ancaman Belanda, Adipati Blitar pada saat itu mengirim pasukan intelijen untuk menginvestigasi siapa sebenarnya yang membuat Belanda gentar di wilayah Blitar.
Pencarian terhadap Djojodigdo, patih yang dikenal akan kesaktiannya, berakhir ketika utusan Adipati Blitar menemukannya di sebuah hutan di wilayah Blitar Selatan. Meski diundang ke pendopo oleh utusan tersebut atas perintah Adipati, Djojodigdo menolak dengan halus karena sibuk melatih laskar untuk mengusir tentara Belanda.
Namun, dua tahun berselang, Adipati Blitar kembali mengirim utusan dengan tawaran yang berbeda. Karena banyaknya tentara Kompeni yang meninggalkan Blitar akibat serangan gerilya pasukan Djojodigdo, akhirnya Djojodigdo menerima tawaran tersebut dan diangkat menjadi patih di Kadipaten Blitar.
Sebagai seorang keturunan ningrat yang pernah tinggal di keraton, Djojodigdo sangat berpengalaman dalam urusan pemerintahan. Ia mampu mengambil kebijakan yang cakap.
(Foto: dok. Heru)
Karena keberhasilannya dalam menjalankan tugas sebagai patih, Adipati Blitar memberinya sebidang tanah di Jalan Melati Kota Blitar, di mana Djojodigdo membangun sebuah rumah besar yang dikenal sebagai Pesanggrahan Djojodigdo.
Meski menguasai ilmu Pancasona, Eyang Djojodigdo akhirnya wafat pada tahun 1905 dalam usia lebih seratus tahun.
Demi menghindari kemungkinan dirinya hidup kembali, maka jasad Eyang Djojodigdo ditaruh dalam peti besi yang digantung, hingga dikenal sebagai Makam Gantung, di Jalan Melati, Blitar, Jawa Timur.
Makamnya sering didatangi oleh para peziarah, terutama dari kalangan spiritualis, yang ingin berguru secara gaib kepada Eyang Djojodigdo untuk mendapatkan ilmu Pancasona. Konon, makamnya juga dijaga oleh dua sosok gaib berbentuk hewan besar, yang dulunya merupakan pengawal pribadi atau khodam Eyang Djojodigdo semasa hidup.
(Rizka Diputra)