Kisah Pemilik Ilmu Pancasona yang Makamnya Digantung, Bisa Hidup Lagi jika Jasad Menyentuh Tanah

Nanda Dwi Cahyani, Jurnalis
Kamis 01 Februari 2024 06:02 WIB
Eyang Djojodigdo (Foto: X/@chicohakim)
Share :

SEORANG patih bernama Djojodigdo asal Kadipaten Blitar, Jawa Timur begitu disegani di zamannya lantaran memiliki kesaktian luar biasa.

Dikisahkan bahwa Eyang Djojodigdo, demikian panggilan akrabnya, memiliki ilmu  Pancasona atau ajian Rawa Rontek, yang konon memungkinkannya hidup kembali jika terbunuh, asalkan jasadnya menyentuh tanah.

Eyang Djojodigdo, merupakan pengikut setia Pangeran Diponegoro yang memiliki keturunan ningrat dari Kerajaan Mataram sebagai putra Adipati Kulon Progo, DIY.

Kesaktiannya terbukti dalam peperangan antara tentara kolonial Belanda dan Pangeran Diponegoro, di mana kesaktiannya amat tersohor hingga dikenang dalam sejarah.

Menurut sejarah, Eyang Djojodigdo, sebelum diangkat sebagai patih, dikenal sebagai seorang yang tekun melakukan tirakat dan puasa, menguasai berbagai macam ilmu kanuragan. Beragam ilmu kesaktian tersebut diperolehnya tidak hanya dari guru-guru manusia, tetapi juga dari makhluk alam gaib.

Kesungguhan dan ketekunan Eyang Djojodigdo dalam menjalani tirakat tersebut membuatnya mampu menguasai ilmu Pancasona atau Ajian Rawa Rontek. Selain itu, ia juga dikenal sebagai sahabat sekaligus pengikut setia Pangeran Diponegoro.

(Foto: Instagram/@kayamann.46)

Keturunannya dari Kerajaan Mataram sebagai putra Adipati Kulonprogo juga memberinya status trah darah biru yang menjadikannya figur yang dikenal dan dihormati dalam sejarah.

Eyang Djojodigdo, tidak pernah mundur sejengkal pun dalam pertempuran melawan penjajah Belanda. Meski Pangeran Diponegoro telah ditangkap dan diasingkan, Eyang Djojodigdo tetap gigih melanjutkan perlawanan gerilya terhadap Belanda.

Kesaktian yang dimilikinya melalui ilmu Pancasona membuatnya menjadi sosok menakutkan bagi Belanda.

Bahkan, meski telah dieksekusi beberapa kali oleh tentara Belanda, Eyang Djojodigdo mampu hidup kembali setiap kali jasadnya menyentuh tanah, tanpa sepengetahuan Belanda.

Menghindari pengawasan ketat Belanda di Yogyakarta, Eyang Djojodigdo memilih melanjutkan perang gerilya ke arah timur bersama pengikutnya.

Perjalanan membawa mereka ke wilayah Blitar selatan, di mana Djojodigdo dan pasukannya terus melancarkan perlawanan sengit terhadap Belanda.

Ketidakmampuan Belanda untuk menghadapi kesaktian Djojodigdo dan pengikutnya membuat mereka ketar-ketir sehingga akhirnya mereka melepaskan pengawasan terhadap Kadipaten Blitar.

Merasa wilayahnya aman dari ancaman Belanda, Adipati Blitar pada saat itu mengirim pasukan intelijen untuk menginvestigasi siapa sebenarnya yang membuat Belanda gentar di wilayah Blitar.

Pencarian terhadap Djojodigdo, patih yang dikenal akan kesaktiannya, berakhir ketika utusan Adipati Blitar menemukannya di sebuah hutan di wilayah Blitar Selatan. Meski diundang ke pendopo oleh utusan tersebut atas perintah Adipati, Djojodigdo menolak dengan halus karena sibuk melatih laskar untuk mengusir tentara Belanda.

Namun, dua tahun berselang, Adipati Blitar kembali mengirim utusan dengan tawaran yang berbeda. Karena banyaknya tentara Kompeni yang meninggalkan Blitar akibat serangan gerilya pasukan Djojodigdo, akhirnya Djojodigdo menerima tawaran tersebut dan diangkat menjadi patih di Kadipaten Blitar.

Sebagai seorang keturunan ningrat yang pernah tinggal di keraton, Djojodigdo sangat berpengalaman dalam urusan pemerintahan. Ia mampu mengambil kebijakan yang cakap.

(Foto: dok. Heru)

Karena keberhasilannya dalam menjalankan tugas sebagai patih, Adipati Blitar memberinya sebidang tanah di Jalan Melati Kota Blitar, di mana Djojodigdo membangun sebuah rumah besar yang dikenal sebagai Pesanggrahan Djojodigdo.

Meski menguasai ilmu Pancasona, Eyang Djojodigdo akhirnya wafat pada tahun 1905 dalam usia lebih seratus tahun.

Demi menghindari kemungkinan dirinya hidup kembali, maka jasad Eyang Djojodigdo ditaruh dalam peti besi yang digantung, hingga dikenal sebagai Makam Gantung, di Jalan Melati, Blitar, Jawa Timur.

Makamnya sering didatangi oleh para peziarah, terutama dari kalangan spiritualis, yang ingin berguru secara gaib kepada Eyang Djojodigdo untuk mendapatkan ilmu Pancasona. Konon, makamnya juga dijaga oleh dua sosok gaib berbentuk hewan besar, yang dulunya merupakan pengawal pribadi atau khodam Eyang Djojodigdo semasa hidup.

(Rizka Diputra)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita Women lainnya