Senada dengan Phillip, desainer batik legendaris Afif Syakur juga melihat bahwa wastra Nusantara semakin ke sini semakin banyak diminati anak muda. Tinggal sekarang terus mengedukasi Gen Z agar lebih menghargai hasil pengrajin wastra Nusantara.
Dia mencontohkan batik misalnya, sudah saatnya masyarakat paham bahwa batik printing itu bukan bagian dari batik, melainkan tekstil yang memiliki motif batik.
"Kami cukup yakin, dengan terus mengedukasi masyarakat soal pentingnya memahami wastra Nusantara, akan membuat orang-orang bisa lebih menghargai karya asli pengrajin ketimbang beli printing batik," katanya.
Ia tak menyalahkan keadaan yang mana akan tetap ada pembeli printing batik, karena alasan harga yang sangat rendah. Tapi, jangan sampai lupa juga untuk terus menginformasikan ada jenis batik yang lebih 'affordable' yaitu batik cap atau kombinasi (cap dan tulis).
"Desainer dan pengrajin wastra juga pastinya terus berkembang, salah satunya berinovasi dan sebisa mungkin menghasilkan produk fashion yang terjangkau. Bagaimana pun warisan wastra akan tetap lestari jika dipakai dalam keseharian yang artinya dibeli," papar Afif, pemilik jenama Apip's Batik.
Produk wastra Nusantara sangat mungkin mendunia!
Bukan rahasia lagi bahwa pasar dunia menyukai wastra Nusantara milik Indonesia. Masih ingat dengan brand Dior yang menggunakan kain endek Bali di Paris Fashion Week?
Beberapa jenama Tanah Air yang fokus pada koleksi etnik juga sukses melangsungkan gelaran show di luar negeri. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa wastra kita punya pasarnya di luar negeri dan semestinya ini dimanfaatkan oleh jenama Indonesia, pun UMKM.
Terlebih, Bank Indonesia punya program inkubasi yang mewadahi para UMKM untuk 'go global'. Di Yogyakarta sendiri, sudah ada beberapa jenama fashion etnik yang melakukan ekspor ke luar negeri.
"Walau, produk kriya dari kayu masih mendominasi, tapi brand fashion pun sudah mulai dilirik pasar ekspor," ungkap Kepala Perwakilan Bank Indonesia DIY Budiharto Setyawan.