Budaya Patriarki di Indonesia Hantui Perempuan, Masih Banyak Ketimpangan dan Kekerasan

Novie Fauziah, Jurnalis
Kamis 09 Maret 2023 13:43 WIB
Ilustrasi Hari Perempuan Internasional. (Foto: Shutterstock)
Share :

BUDAYA patriarki sangat kental di Indonesia. Hingga kini, masih saja banyak stigma yang menghambat kemajuan perempuan, yang melihat kaum hawa hanya sebelah mata kala melakukan sesuatu.

Adanya budaya patriarki yang masih saja menghantui para perempuan di Indonesia, membuat mereka seakan-akan memiliki banyak beban yang harus dihadapinya. Mulai dari urusan dapur, karier, kesetaraan dengan pria, kekerasan hingga menikah di usianya yang tidak cukup matang kerap jadi buah bibir.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menyebutkan, angka tersebut menunjukkan realita masih banyaknya ketimpangan yang dihadapi perempuan hingga saat ini, mulai dari ekonomi hingga kasus kekerasan menimpa perempuan.

Bintang menyebut, di mana hal ini merujuk pada indeks Pembangunan Manusia (IPM) perempuan tahun 2019 masih berada di bawah laki-laki yaitu 69,18 sedangkan nilai IPM laki-laki adalah 75,96.

"Kondisi ini, berkaitan dengan konstruksi sosial patriarki yang menempatkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Padahal perempuan merupakan kekuatan bangsa," ujar Bintang dalam keterangan resminya.

Menengok Sensus pada 2020, perempuan mengisi 49,42 persen dari populasi di Indonesia atau sekitar 133,54 juta jiwa. Selain itu berdasarkan McKinsey Global Institute Analysis, Indonesia dapat meningkatkan pendapatan domestik bruto (PDB) sebesar USD 135 miliar per tahun pada 2025 mendatang, yakni dengan catatan partisipasi ekonomi perempuan terus ditingkatkan.

Selanjutnya, kata Bintang, bahwa meluruhkan budaya patriarki bukanlah hal yang mudah. akan tetapi, ia meyakini dengan adanya kerja sama, kerja keras, serta kegigihan dalam memperjuangkannya, cita-cita kedepannya dapat menghilangkan budaya patriarki di Indonesia bukanlah hal yang mustahil.

"Upaya-upaya untuk menghapus berbagai pandangan yang masih merugikan perempuan harus terus didengungkan. Pembagian peran yang setara antara laki-laki dan perempuan bisa diimplementasikan, dimulai dari lingkup terkecil di masyarakat yakni keluarga kemudian lambat laun ke masyarakat secara luas," terangnya.

Sedangkan menurut Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Agustina Erni, bahwasannya saat ini pemerintah terus melakukan koordinasi dengan berbagai pihak untuk bersinergi mengurangi ketimpangan gender.

"Kami juga melakukan pelatihan untuk pemimpin perempuan di desa. Hal ini dapat dilihat dari desa yang mempunyai Kepala Desa Perempuan, ternyata kegiatan yang dilakukan telah memperhatikan kebutuhan perempuan," ujarnya.

Selain itu, tambah dia, dalam upaya menangani kekerasan terhadap perempuan, Kemen PPPA secara intensif melakukan kerja sama dengan daerah untuk menyediakan layanan bagi korban kekerasan perempuan dan anak.

Dilansir dari laman resmi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Analis Kebijakan Kemenko PMK, Indra Prasetya Adi Nugroho mengatakan, berdasarkan catatan tahunan periode 2022, Komnas Perempuan menyebutkan, bahwa jumlah kasus Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Perempuan (KBGTP) sepanjang 2021 sejumlah 338.496 kasus naik dari 226.062 kasus di tahun 2020 (Komnas Perempuan, 2022a, 2022b).

Kemudian, Hasil Survei Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene menyebutkan, 93 persen penyintas kekerasan seksual tidak berani dan tidak pernah melaporkan kasus yang dialaminya ke aparat penegak hukum (APH). Hal ini didasari berbagai ragam alasan seperti malu, takut disalahkan, tidak cukup bukti, tidak didukung keluarga, hingga adanya intimidasi pelaku.

Fenomena tersebut dengan kuatnya kuatnya isu patriarki yang masih ada di masyarakat, dan jadi budaya dari nenek moyang terdahulu. Isu patriarki mengemuka karena para korban yang mayoritas adalah kaum perempuan. Di mana mereka rata-rata diminta untuk diam oleh sistem atau mekanisme yang ada di masyarakat.

Beberapa contoh sistem atau mekanisme tersebut diantaranya, yaitu menyalahkan korban kekerasan seksual dengan bentuk beragam. Misalnya, menyalahkan korban dari cara berpakaian, sehingga dianggap mengundang pelaku untuk berbuat tidak menyenangkan, hingga kekerasan.

Hal ini juga tidak terlepas dengan adanya sistem di dalam keluarga, yang mana tak mau menanggung malu apabila ada anggota keluarganya menjadi korban kekerasan seksual.

Kemudian dalam sebuah analisa, di 14 negara Asia Pasifik tentang keamanan, kesehatan dan kesempatan untuk perempuan disebutkan bahwa Indonesia, Filipina dan India menduduki ranking terendah dengan indikasi peraturan pemerintah tidak dapat meningkatkan kualitas hidup. Apabila berkebalikan dengan agama dan nilai budaya di dalam kehidupan sehari-harinya.

Indonesia, Filipina dan India dianggap menjadi negara tujuan paling berbahaya bagi perempuan. Di mana salah satu faktor penyebabnya adalah perilaku patriarki yang didasarkan pada nilai budaya atau agama. Akibatnya perempuan takut akan keselamatannya dibanding dengan negara lain di Asia Pasifik (Dedees, 2016; Evlanova, 2019; Hannah, 2017).

(Martin Bagya Kertiyasa)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Women lainnya