KOTA Singkawang di Kalimantan Barat sangat terkenal sebagai Chinatown atau kawasanan pecinan kebanggaan Indonesia. Nuansa Tiongkok begitu terasa. Penduduk Singkawang banyak dari warga keturunan Tionghoa. Mereka sudah ada sejak ratusan tahun silam di Kota Seribu Kelenteng ini.
Warga Tionghoa hidup rukun dan saling berbaur dengan etnis Melayu, Dayak, Jawa dan orang dari suku lain yang datang ke Singkawang. Saling menghormati dan membangun Singkawang dalam bingkai NKRI.
Singkawang berasal dari bahasa Hakka, “San Kew Jong” yang artinya kota yang terletak di antara laut, muara, gunung dan sungai.
Asal penamaan tersebut bukan tanpa alasan. Banyak orang Tionghoa yang datang dan tinggal di sana. Bahkan, saking banyaknya, Singkawang mendapat berbagai julukan seperti Kota Amoi, Kota Seribu Kelenteng, hingga Hongkong Van Borneo.
Orang Tionghoa yang datang ke Borneo Barat sebagian besar berasal dari Hakka, Teochiu, dan sekelompok kecil Kanton dan Hokkien.
Awalnya para penambang dan pedagang yang berasal dari China, sering beristirahat di Singkawang sebelum melanjutkan perjalanan ke Monterado. Begitu pun para penambang asal Monterado yang sudah sering melepas penat di Singkawang. Bahkan, Singkawang saat itu menjadi tempat transit pengangkutan hasil tambang emas (serbuk emas).
Melihat kondisi geografis Singkawang yang menjanjikan, para penambang tersebut memutuskan untuk tinggal di sana, dan beralih profesi menjadi petani dan pedagang.
Di daerah asalnya, orang Hakka sering melakukan aktivitas pertambangan dan perladangan yang berpindah, karena lahan yang kurang subur. Karena kebiasaan tersebut mereka dijuluki “Kejia/hakka” yang berarti tamu.
Kondisi Singkawang yang memiliki daerah pesisir dan pedalaman dinilai mirip dengan daerah asal mereka, yaitu pedalaman Guangdong dan Leong Yen.
Mereka menggunakan armada perahu Jung atau Wakang Cun (Jok atau Wangkang), yang mirip dengan yang mereka gunakan saat human growth hormone dose ke Pulau Jawa.