MASYARAKAT suku Toraja di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan punya tradisi khusus pemakaman anggota keluarganya. Ritual itu bernama Rambu Solo.
Rambu Solo dilaksanakan sebagai penghormatan terakhir bagi mereka yang telah pergi selama-lamanya. Jika tradisi ini belum terlaksana hingga tuntas, warga Toraja percaya orang meninggal belum sepenuhnya pergi.
Sebelum Rambu Solo selesai dilaksanakan, mereka masih terus mempelakukan mayat seperti orang sakit. Seperti misalnya dibiarkan terbaring di tempat tidur serta disediakan makanan dan minuman.
BACA JUGA: Mengenal Tradisi Ma'Nene dan Tradisi Mayat Berjalan di Tana Toraja, Penghormatan pada Leluhur
Nama lain dari Rambu Solo adalah Aluk Rampe Matampu. Upacara adat ini dilakukan ketika matahari mulai tergelincir alias terbenam. Sinar matahari yang meredup diartikan sebagai rasa duka usai orang terkasih tutup usia.
Upacara Rambu Solo cukup memakan biaya yang tak sedikit. Setiap melaksanakan prosesi adat tersebut, diharuskan menyembeli kerbau, babi, dan waktu pelaksanaan pun cukup lama. Ini lah mengapa biaya yang dikeluarkan ekstra banyak.
Tarian kematian di Toraja (MPI/Jufri)
Tingkatan
Ada beberapa tingkatan atau strata sosial dalam masyarakat. Upacara Rambu Solo pun terbagi sesuai dengan tingkatan tersebut.
1. Dissili' , pemakaman untuk strata terendah serta anak-anak yang belum punya gigi
BACA JUGA: Mengenal Ritual Pa'semba Toraya, Wisata Olahraga Baru di Tana Toraja
2. Dipasangbongi , diperuntukan bagi rakyat biasa dan dilakukan dalam satu malam
3. Dibatang atau Digoya Tedong , untuk kalangan bangsawan menengah. Pelaksanakan upacara dibagi 3 jenis dan jumlah kurban babi mulai dari 3 sampai 7 ekor.
4. Rapasan, untuk kalangan bangsawan tinggi. Upacara ini dilaksanakan dua kali dalam setahun yakni Aluk Pia dan Aluk Rante. Jumlah babi atau sapi yang dikurbankan mulai dari 9 sampai 100 ekor.