Awalnya, kisah ini ingin kuwakilkan pada gemericik puisi Hujan Bulan Juni, yang setiap kali kubaca, menjadi basah hatiku, luber air mata melewati parit-parit kecil di wajahku. Aku tak kuasa atas derasnya rindu dendam yang coba kuhalau. Tapi begitulah bah perasaan, ia menggerus logika yang mengadang. Sudah, aku pasrah. Kuceritakan saja kisah ini, agar aku bisa tabah seperti hujan yang disyairkan Sapardi.
Tepat 5 tahun lalu, di bulan Juni, langit Ciputat teramat cerah. Dugaanku, matahari tengah berseri-seri menyambut tanggal pernikahan gadis yang paling kucintai. Teman-teman seperkuliahan kami dulu, sibuk berbagi undangan kebahagiaannya lewat media sosial. Tapi, kabar bahagia itu, justru tak pernah dialamatkan padaku. Sabar menanti iktikad baik, barangkali ada sapa darinya yang datang terlambat, dan sungguh aku siap menghadiri pernikahannya.
Malang dinanti, yang kulihat keesokan, wajahnya berseri. Disampingnya, berdiri seorang pria berwajah alim yang membersamainya melayani sesi foto pernikahan. Tanganku gemetar, hatiku diterpa badai kepiluan, hingga kedua lututku jatuh menopang badanku yang ambruk. Aku menangis sejadinya di dalam kamar berukuran 3x4 dengan warna cat senada senja.
Ini bukan kehilangan biasa, sebab sejak ia memintaku mengajari Bahasa Arab di salah satu perpustakaan fakultas di kampus hijau Ciputat, aku pun langsung jatuh hati. Bukan pada parasnya, bukan pula pada cara ia mengenakan busana muslimahnya. Aku menaruh hati pada semangat belajarnya, yang hingga akhir perkuliahan, ia memang menjadi ketua kelas terbaik bagi teman-teman sekelas dulu.
Tak terhitung sudah, bagaimana aku dan dia menikmati kegemaran jurnalistik dengan mengikuti begitu banyak pelatihan jurnalistik media, berburu peluang magang di sela-sela libur kuliah, mengejar beasiswa, hingga mencari pekerjaan serabutan demi tambahan uang jajan. Tak cuma itu, masih segar dalam ingatan, betapa kami saling meladeni amarah, menyikapi kekecewaan, dan menopang perkuliahan hingga masing-masing kami lulus dengan predikat terbaik.
Tapi, semua itu tak cukup. Aku melihat benih perpecahan di antara kami. Aku yang waktu itu lulus lebih lama setahun darinya, mulai kehilangan tenaga untuk terus mengimbangi semangatnya. Sedangkan di luar sana, di dunia jurnalistik yang mulai digelutinya, mulai memberi banyak alternatif masa depan, tentu saja termasuk dengan pria mana ia akan mengikat janji pernikahan.
Katanya, aku tak pasti dan lambat. Ia butuh pria yang lebih “sejati”, yang datang memintanya pada orangtuanya. Masih kuingat, ceritanya tentang seloroh bapaknya; kalau kamu menikah dengan Shulhan, bapak tidak akan keberatan. Optimismeku masih bisa terjaga, setidaknya, bapak-ibunya masih di pihakku, sekalipun waktu itu kami sudah sulit berkomunikasi dan bertemu. Terlebih, ada pria yang waktu itu begitu ngotot ingin mempersuntingnya.
Lalu, pada suatu malam yang purnamanya tertutup awan kelabu, aku mendengar kata maaf darinya. Sebuah maaf yang membuatku meminta hujan turun secepatnya biar tangisku dapat tersamarkan. Katanya, “Maaf, aku akan menikah”. Tak lama, undangan pernikahannya pun sampai ke gawai pintarku untuk melipatgandakan dukaku. Riwayatnya, ada pria yang tanpa permisi telah merencanakan pernikahan, yang mau tak mau, tak sanggup ia tolak.