GEGAP-gempita Hari Kartini selalu terasa setiap 21 April. Ya, hari tersebut sangat spesial bagi wanita Indonesia karena R.A Kartini merupakan tokoh kebangkitan wanita pribumi.
Buah dari perjuangan Kartini dapat dirasakan oleh wanita di Tanah Air. Sebab kini wanita Indonesia sudah berada di masa emansipasi, di mana mereka memiliki hak yang setara dengan pria. Wanita Indonesia kini sudah mendapat hak pendidikan yang setara dengan pria, bahkan bekerja secara professional.
Di balik besarnya pengaruh R.A Kartini dalam membawa pengaruh untuk wanita Indonesia muncul pertanyaan, siapa wanita hebat yang melahirkan dan mendidiknya hingga memiliki kekuatan dan ketegaran melawan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita pada masa penjajahan kala itu?
Berdasarkan hasil penelusuran Okezone yang didapat dari berbagai sumber, Kartini dilahirkan oleh M.A.Ngasirah., perempuan keturunan Kiai Haji Madirono dan Nyai Hajah Siti Aminah asal Teluk Awur Jepara.
Meilihat dari nama kedua orang tuanya yang berpredikat Kiyai dan Bu Nyai, maka kurang lebihnya Ngasirah adalah seorang gadis pingitan Islam yang memiliki tradisi beragama kuat. Dia lahir di lingkungan perguruan Islam Jepara, sekitar daerah Mantingan yang menjadi pusat Islam di Jawa pada akhir dan awal abad 19-20.
M.A.Ngasirah menikah dengan Raden Mas Adipati Ario Sosroningra, ayah Kartini dengan system dijodohkan. Bahkan ketika menikah Ngasirah tidak dilibatkan dalam usulan ini. Meski demikian, dapat dilihat ketegarannya dalam menerima perjodohan dari orangtua ia jalani dengan lapang dada.
Kala menikah, Adipati Ario hanyalah seorang wedana, administrasi pemerintahan yang berada di bawah kabupaten dan di atas kecamatan di Mayong. Ketika karier sang suami meningkat, peraturan kolonial kembali menguji ketegaran Ngasirah. Ia harus merelakan suaminya menikah lagi dengan wanita keturunan bangsawan tinggi.
Peraturan pemerintahan kolonial itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayah Kartini ini harus menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Pernikahan tersebut lagi-lagi menunjukkan ketegaran wanita tempo dulu yang kuat dan tidak banyak protes. Padahal kalau Ngasirah mau dia bisa saja menolak perlakuan tidak adil tersebut. Namun, sikap bijaksananya mengantarkan Kartini tumbuh dalam keluarga yang utuh dan mendapat pendidikan layak.
Kendati kita semua mengenal Kartini sebagai sosok yang berani melawan feodalisme dan berani mengutarakan pemikiran modernnya, ia juga wanita yang tegar dan matang. Hal itu dibuktikan ketika ia harus berhenti sekolah pada usia 12 tahun karena menuruti perintah ayah dan budaya Jawa, bahwa wanita berusia remaja sudah harus dipingit.
Kedua, Kartini bernasib sama dengan sang ibu yang menikah dengan cara dijodohkan. Ia juga dipoligami karena suaminya, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat sudah memiliki tiga istri saat menikahi Kartini. Pendidikan tinggi mengantarkan Kartini mampu berpikir matang bahwa dia tak harus melawan orangtua.
Tak dapat dipungkiri bahwa RA Kartini memiliki kematangan jiwa dan ketegaran semangat juang karena pengaruh yang didapatnya dari seorang Ngasirah baik secara langsung maupun tidak langsung. Bagi Kartini , Ngasirah adalah sosok Ibu atau perempuan teladan yang sangat kuat dan begitu hebat. Akan tetapi kehebatan yang dimilikinya seolah tak ada yang mau mengakui apalagi menghargainya. Di dalam sebuah keluarga , Ngasirah adalah figur istri teladan yang memiliki kepribadian sangat matang dan sangat bijaksana.
(Vien Dimyati)