JAKARTA — Wisata mewah dunia sedang bergerak ke arah baru: lebih tenang, lebih personal, dan lebih bermakna. Hal ini diungkapkan Paul Charles, CEO The PC Agency dan konsultan perjalanan serta penerbangan mewah asal Inggris, di sela gelaran TOURISE 2025, Senin (11/11/2025).
Menurut Paul, wisatawan kelas atas atau high-net-worth travellers kini mencari pengalaman yang tidak sekadar glamor, tetapi juga penuh ketenangan dan nilai personal.
“Kita memasuki era di mana kemewahan tidak lagi soal pamer di Instagram. Wisatawan ingin ‘quiet luxury’—kemewahan yang tenang—di mana mereka membayar lebih untuk privasi, ruang pribadi, dan waktu istimewa bersama keluarga atau teman,” ujar Paul Charles.
Dari hasil pengamatannya terhadap pasar global, Paul menyebut beberapa destinasi yang sedang naik daun di kalangan pelancong mewah dunia.
“Zambia di Afrika kini sedang menanjak, dengan narasi kuat tentang kualitas safari dan pesona Victoria Falls,” jelasnya.
Selain itu, Finlandia juga menjadi incaran baru bagi wisatawan berduit, terutama karena keunikan musim dingin dan pengalaman aurora yang berbeda total dengan iklim tropis Indonesia.
Bagi wisatawan Indonesia, Paul menilai Maroko adalah destinasi yang sangat cocok untuk eksplorasi.
“Maroko menawarkan perpaduan budaya, kuliner, dan pemandangan yang luar biasa—dari kota bersejarah Marrakesh hingga pantai Essoauira dan Walidia. Ini pengalaman yang eksotis namun tetap terasa dekat,” katanya.
Paul juga menilai tren wisatawan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, semakin matang. Menurutnya, banyak wisatawan Indonesia kini mengutamakan wellness travel atau perjalanan yang meningkatkan kesejahteraan tubuh dan pikiran.
“Wisatawan Indonesia mencari sesuatu yang berbeda, tapi tetap memiliki sentuhan keintiman. Mereka rela membayar lebih untuk ketenangan, layanan spa berkualitas, dan privasi,” katanya.
Ia menambahkan bahwa kemewahan tidak lagi diukur dari kemegahan, tetapi dari seberapa personal pengalaman itu.
“Luxury today is about simplicity and space,” tegas Paul.
Menatap 2026, Paul menyebut beberapa destinasi yang berpotensi menjadi primadona baru di kalangan pelancong berprofil tinggi:
• Bhutan, dengan keaslian budaya dan lanskap spiritualnya;
• Guatemala, yang masih jarang dijamah tapi menawarkan pengalaman autentik;
• Serta negara-negara Nordik seperti Norwegia dan Finlandia yang berhasil menyeimbangkan pariwisata dan keberlanjutan.
“Negara-negara yang tumbuh dengan hati-hati dan melindungi alamnya—seperti Irlandia atau Finlandia—adalah contoh bagaimana kesejahteraan dan pertumbuhan bisa berjalan bersama,” ujarnya.
Paul memprediksi Artificial Intelligence (AI) akan semakin membentuk wajah perjalanan luksus di tahun-tahun mendatang.
“AI akan memimpin cara orang meneliti, merencanakan, dan bahkan mempersonalisasi perjalanan mereka,” katanya.
Selain itu, model langganan jet pribadi (private jet subscription) juga akan menjadi tren di 2026, karena semakin banyak wisatawan memilih kenyamanan dan fleksibilitas untuk terbang langsung ke destinasi eksklusif.
Namun, bagi Paul, inti dari perjalanan tetaplah emosi. “Indonesia punya potensi besar jika bisa mengangkat sisi emosional perjalanan—apa yang kita bawa pulang dari perjalanan itu, bukan hanya foto atau oleh-oleh,” katanya.
Jika harus merancang luxury itinerary bagi pelancong Indonesia, Paul memilih tiga destinasi utama:
1. Dubai, sebagai kota besar penuh pengalaman dan atraksi kelas dunia.
2. Maroko, dengan kombinasi gunung Atlas dan pantai eksotis.
3. Paris, pusat seni, kuliner, dan belanja mewah dunia.
“Ketiganya memberi keseimbangan antara kemewahan, budaya, dan gaya hidup. Dari Bali atau Jakarta, perjalanan seperti ini akan menjadi pengalaman tak terlupakan,” pungkasnya.
(Khafid Mardiyansyah)