Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Gowok, Tradisi Lelaki Jawa Belajar Seksualitas dari Wanita Dewasa 

Avirista Midaada , Jurnalis-Minggu, 15 Juni 2025 |21:29 WIB
Gowok, Tradisi Lelaki Jawa Belajar Seksualitas dari Wanita Dewasa 
Gowok, Tradisi Lelaki Jawa Belajar Seksualitas dari Wanita Dewasa. (Ilustrasi: KITLV Leiden)
A
A
A

TRADISI Gowok dalam budaya Jawa kembali menjadi perbincangan publik. Konon, praktik ini telah dikenal sejak awal abad ke-20 dan merupakan bagian dari pendidikan pra-nikah bagi pemuda tertentu, khususnya dari kalangan bangsawan. Namun, tidak semua remaja pria yang akan menikah menjalani tradisi ini—hanya mereka dari keluarga terpandang yang dianggap layak mendapat pendidikan seksual dan rumah tangga melalui Gowok.

Popularitas Gowok kembali mencuat setelah film garapan Hanung Bramantyo tayang di bioskop. Film ini mendapat dukungan langsung dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang menilai cerita tersebut merefleksikan kekayaan budaya Indonesia serta pentingnya kebebasan berekspresi dalam dunia sinema.

“Menurut saya, ceritanya sangat menarik karena mengangkat sebuah tradisi yang mungkin kini telah punah. Akulturasi berbagai budaya di Indonesia menjadikan negeri ini kaya akan peristiwa dan kisah yang layak diangkat ke layar lebar,” ujar Fadli Zon setelah menonton film tersebut.

Gowok dan Pendidikan Seksualitas di Masa Lalu

Dalam budaya Jawa kuno, sosok Gowok memiliki posisi terhormat. Ia dianggap mampu membentuk pria menjadi calon suami yang matang secara lahir dan batin. Hanya keluarga dari kalangan ningrat atau elite yang mampu menyekolahkan putranya kepada seorang Gowok.

Sejarawan dari UIN Raden Mas Said Surakarta, Latif Kusairi, menjelaskan bahwa tradisi ini tidak berlaku umum. Hanya anak-anak pejabat lokal, seperti wedana atau lurah, yang biasanya mengikuti pendidikan ini. Tradisi tersebut dianggap memiliki nilai prestise tinggi di kalangan elite desa.

 

“Tradisi ini diikuti oleh remaja atau pria dewasa yang siap menikah. Tapi tidak semua laki-laki menjalani tradisi Gowok. Biasanya hanya anak para penggede seperti wedana atau lurah,” kata Latif saat dikonfirmasi pada Minggu (15/6/2025).

Selama menjalani masa Gowok, calon pengantin pria akan belajar langsung dari perempuan dewasa yang telah bersuami. Mereka tidak hanya diajarkan soal hubungan seksual, tetapi juga bagaimana memahami dan melayani pasangan dalam kehidupan rumah tangga. Ini termasuk pemahaman tentang peran laki-laki dalam membangun keharmonisan relasi setelah melewati masa akil balig atau pasca sunat.

“Kemampuan laki-laki dalam berumah tangga tak hanya diukur dari urusan ekonomi atau kekayaan, tapi juga dari keperkasaan dan tanggung jawab di ranjang. Karena itu mereka perlu pembelajaran dari sosok yang dianggap ahli,” jelas Latif.

Gowok Bukan Praktik Prostitusi

Meski terdengar sensitif, tradisi ini bukan bentuk praktik liar atau semata-mata untuk kesenangan seksual. Perempuan yang menjadi Gowok justru menerima bayaran dari keluarga pria, dan bertugas memberikan edukasi seksual dengan tujuan positif—sebagai bekal untuk menjalani pernikahan yang sehat dan seimbang.

“Gowok bukanlah pelacur atau gundik. Mereka dibayar secara resmi oleh orangtua si pria, dan berperan sebagai pengajar dalam persiapan rumah tangga. Jadi ini bukan tentang kenikmatan semata, tapi proses pembelajaran,” tegasnya.

Latif juga menyebut bahwa pendidikan yang diberikan tidak hanya seputar urusan ranjang. Para Gowok juga mengajarkan pengetahuan tentang manajemen rumah tangga, menyelesaikan konflik, hingga cara membangun komunikasi yang sehat dengan pasangan. Proses ini bisa berlangsung selama berminggu-minggu dan melibatkan interaksi intensif, termasuk tidur bersama perempuan yang telah berkeluarga.

“Dalam budaya Jawa, kegagahan laki-laki juga dinilai dari kemampuannya menjalin hubungan intim yang harmonis. Tradisi Gowok menjadi bagian dari pembuktian itu, bukan sebagai bentuk prostitusi, tetapi sebagai pendidikan kelas menengah ke atas,” terangnya.

Menurutnya, proses pembelajaran pun tidak selesai dalam sehari, tetapi memakan waktu yang cukup lama. Bahkan, bisa berlangsung lebih dari satu minggu. "Jadi sampai sang pemuda dianggap siap secara fisik, psikis, dan sosial untuk memasuki dunia pernikahan,” pungkasnya.

(Rani Hardjanti)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita women lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement