RAJA Ampat dikenal sebagai salah satu harta karun hayati terbesar di dunia menjadi andalan Indonesia di sektor pariwisata dan konservasi. Namun keindahannya tengah tercoreng aktivitas pertambangan yang secara agresif merusak surga biodiversitas laut dunia yang sudah diakui UNESCO sebagai Global Geopark.
Terdapat berbagai versi mengenai asal-usul Raja Ampat menurut mitos masyarakat setempat. Berikut ini uraiannya. Secara umum, asal-usul ini dapat dibedakan menjadi dua periode, yaitu sebelum dan setelah tokoh Gurabesi.
Periode Sebelum Gurabesi
Dalam versi ini, yang berasal dari suku Kawe dan Wawiyai, seperti yang dicatat oleh Van der Leeden pada tahun 1979-1980, sebelum Gurabesi berkuasa, wilayah ini sudah memiliki kerajaan lokal yang dipimpin oleh raja-raja bersaudara yang bergelar fun.
Fun Giwar memimpin Waigeo, Fun Tusan menguasai Salawati, dan Fun Mustari menguasai Misool. Selain itu, terdapat saudara keempat, fun Kilimuri, yang pergi ke Pulau Seram, saudara kelima, fun Sem, yang berubah menjadi makhluk halus, serta Pin Take, saudari keenam, dan saudara ketujuh yang membatu di Wawage, Waigeo Selatan.
Mereka awalnya tinggal bersama di Wawage, tetapi kemudian terlibat perselisihan dan berpisah. Dari sejarah ini, muncul mitos yang dipercaya masyarakat bahwa saudara perempuan Pin Take hamil tanpa suami, yang membuat saudara-saudaranya merasa malu. Akibatnya, dia dihanyutkan ke laut oleh saudara-saudaranya.
Pin Take terdampar di Pulau Numfor dan bertemu dengan Manar Maker, seorang tokoh mitos dari masyarakat Biak-Numfor. Pin Take kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Kurabesi. Ketika dewasa, Kurabesi kembali ke Kali Raja (Wawage) dan bertemu pamannya, fun Giwar. Gurabesi, fun Giwar, dan anak Giwar yang bernama Mereksopen, membantu Raja Tidore dalam peperangan melawan Raja Ternate.
Sebagai imbalan atas kemenangan melawan Ternate, Kurabesi dinikahkan dengan putri Sultan Tidore, Boki Taiba. Kurabesi dan istrinya kemudian menetap di Wauyai, Waigeo, Raja Ampat hingga akhir hayatnya.

(Kecantikan pemandangan Raja Ampat. Foto: Green Peace)
Periode Setelah Gurabesi
Salah satu versi yang dicatat oleh F.C. Kamma pada akhir tahun 1930-an menyebutkan bahwa seorang pemimpin dari Biak bernama Gurabesi (Kurabesi) atau Sekfamneri, bermigrasi ke kepulauan ini. Dia bersama penduduk setempat berhasil menghentikan ekspansi orang Sawai dari Patani, Halmahera Tengah ke wilayah ini. Tempat di mana orang Sawai dikalahkan oleh tipu muslihat Gurabesi kemudian dinamakan Bukorsawai (tengkorak orang Sawai) di Waigeo Utara.
Dikutip dari Data Sejarah Kabupaten Raja Ampat, Sabtu (7/6/2025), Gurabesi semakin dikenal karena kepemimpinannya di pulau-pulau ini dan petualangannya ke luar wilayah Raja Ampat, termasuk Seram, Halmahera, dan kerajaan di Maluku untuk tujuan pengayauan dan perdagangan.
Dalam petualangannya ke Tidore, dia terlibat dalam peperangan antara Kesultanan Tidore dan Kesultanan Jailolo. Atas permintaan Sultan Tidore, Gurabesi membantu pasukan Tidore mengalahkan Jailolo. Sebagai hasil dari bantuan ini, Gurabesi dinikahkan dengan Boki Tabai (putri Sultan Tidore) dan diakui oleh Tidore sebagai raja yang menguasai wilayah kepulauan Raja Ampat, memerintah dari Wai-kew, Waigeo.
Dia juga berjanji untuk memberikan sebagian upeti yang diterimanya kepada Tidore setiap musim angin timur. Ekspansi Gurabesi kemudian meluas ke beberapa wilayah di Semenanjung Kepala Burung, yang menjadi cikal bakal wilayah Papo-ua Gam Sio (sembilan negeri Papua).
Kurabesi dan Boki Tabai dikisahkan tidak memiliki anak. Suatu ketika, saat Boki Tabai dan Gurabesi menyusuri sungai Waikeo (Kali Raja di Distrik Tiplol Mayalibit), mereka menemukan beberapa butir telur (ada yang menyebut enam atau tujuh).
Empat butir di antaranya menetas menjadi empat pangeran yang terpisah karena perselisihan mengenai kura-kura, dan masing-masing menjadi raja di Waigeo, Salawati, Misool Timur di Lilinta, dan Misool Barat di Waigama, meskipun kemudian pergi ke Kalimuri (Seram).
Sementara itu, telur kelima menjadi laki-laki tetapi kemudian menghilang ke alam gaib menjadi hantu, telur keenam menjadi perempuan, dan telur ketujuh berubah menjadi batu Telur Raja (Kapatnai) yang dianggap keramat di Kali Raja.
Dalam perjalanan sejarahnya, wilayah Raja Ampat telah lama dihuni oleh masyarakat bangsawan yang menerapkan sistem kerajaan yang dipengaruhi oleh adat Maluku. Raja Ampat menjadi bagian dari klaim Kesultanan Tidore yang berhubungan dengan tokoh Gurabesi.
Setelah Kesultanan Tidore takluk kepada Belanda, Kepulauan Raja Ampat menjadi bagian dari Hindia Belanda, dan selanjutnya Indonesia.
(Rani Hardjanti)