Di Matotonan, kehidupan bergantung pada hutan dan tanah. Mereka menanam keladi, pisang, sagu, coklat, pinang, hingga nilam. Saat harga hasil bumi seperti pinang atau manau naik, aktivitas ekonomi bergeser. Warga beramai-ramai menyusuri hutan untuk memanen atau menebang. Jika harga jatuh, mereka kembali ke kebun keladi, berburu, atau menangkap ikan di sungai.
Sagu menjadi makanan pokok yang diwariskan secara turun-temurun. Dulu diparut dengan alat dari paku dan kayu, kini prosesnya mulai terbantu mesin. Namun beberapa warga masih menjaga cara tradisional: meremas atau menginjak batang sagu dengan tangan dan kaki—sebuah ritual harian yang penuh makna.
Perempuan memegang peran penting. Mereka mengelola kebun keladi, menangguk udang di sungai (paliggagra), dan menyiapkan okbuk—bambu kecil untuk memasak sagu. Dalam acara adat, seperti lia di (ritual besar), para perempuan memikul peran logistik: mengambil kapurut (daun sagu), memotong bambu, dan menyiapkan makanan persembahan untuk roh.
Keladi dan babi bukan sekadar komoditas, tapi bagian dari sistem nilai. Keladi bisa menjadi mahar, alat pembayaran denda adat, atau penukar ramuan obat. Demikian pula babi, yang tak pernah absen dalam upacara penyembuhan Sikerei.