Bahasa Buton termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Bahasa utama yang digunakan adalah Bahasa Wolio, yang dulu menjadi bahasa resmi Kesultanan Buton.
Saat ini, terdapat pula dialek dan bahasa daerah lain di kalangan masyarakat Buton, termasuk bahasa Cia-Cia dan bahasa Muna, karena kedekatan geografis dan hubungan sejarah.
Menariknya, pada tahun 2009, sempat ada upaya unik untuk menuliskan bahasa Cia-Cia dengan huruf Hangeul (alfabet Korea), yang kemudian menarik perhatian dunia internasional, meski program tersebut tidak berlanjut lama.
Suku Buton memiliki struktur sosial yang kompleks dan sangat dipengaruhi oleh sistem Kesultanan Buton. Pemerintahan tradisional terdiri dari beberapa lembaga adat, di antaranya:
* Sara Patapata (empat lembaga adat utama)
* Bonto (pemimpin wilayah)
* Kapitalao (laksamana atau pemimpin militer maritim)
* Bobato (anggota dewan adat)
* Hukum adat Buton bersifat tertulis, yang menjadikannya unik dibandingkan banyak masyarakat adat lain di Indonesia yang menganut hukum tak tertulis.
a. Arsitektur
Rumah adat Buton dikenal sebagai Banua Tada, rumah panggung dari kayu yang tahan gempa dan banjir, mencerminkan pengetahuan lokal yang adaptif terhadap lingkungan.
b. Seni dan Musik
Masyarakat Buton memiliki berbagai bentuk seni tradisional seperti tarian Linda, Tari Lulo, musik gong dan gendang, serta syair puisi berbahasa Wolio.
c. Upacara Adat
Upacara penting seperti Karia (ritual inisiasi bagi remaja perempuan), Posuo, serta tradisi Maulid Nabi, masih dilestarikan dan menjadi bagian dari identitas budaya Buton.