KENAPA Gen Z lebih mudah depresi, menarik untuk diulas. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa Gen Z yang lahir antara 1997 hingga 2012, lebih rentan terhadap depresi dibandingkan generasi sebelumnya.
Tumbuh di era digital yang penuh dengan kemajuan teknologi dan akses informasi tanpa batas tidak semata-mata membuat Gen Z memiliki hidup yang lebih baik. Faktanya Gen Z menjadi generasi dengan tingkat depresi yang cukup tinggi.
Berdasarkan survei yang diadakan oleh Pew Research Center pada 2018, terdapat 70 persen remaja dari berbagai kalangan yang mengatakan bahwa mereka mengalami kecemasan dan depresi.
Kenapa Gen Z Lebih Mudah Depresi?
1. Pengaruh Media Sosial
Menurut laporan Gallup dan Walton Family Foundation 2024, hanya sekitar 47 persen Gen Z merasa mengalami perkembangan dalam hidup mereka, Tentu ini bukanlah angka yang baik. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor, salah satunya pengaruh media sosial. Terapis dari Los Angeles Alyssa Mancao mengatakan bahwa Gen Z adalah generasi yang tumbuh dengan internet dan mereka sering melakukan perbandingan.
Mereka cenderung membandingkan segala sesuatu seperti penampilan fisik hingga karier mereka dengan para influencer yang ada di media sosial. Hal Ini membuat mereka merasa tidak percaya diri dan kesulitan menemukan jati diri mereka.
2. Pesimis terhadap Kondisi Dunia
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Montclair State University menunjukkan bahwa banyak Gen Z merasa dunia semakin menakutkan. Mereka cemas tentang cuaca ekstrem, biaya hidup yang tinggi, dan ketidakpastian pekerjaan setelah lulus.
Kemajuan teknologi, termasuk kemunculan Artificial Intelligence (AI) yang menggantikan manusia di berbagai sektor pekerjaan, tentu menjadi ancaman nyata yang dihadapi oleh Gen Z dalam menjalani hidup mereka.
3. Kesulitan Bersosialisasi Secara Langsung
Pandemi Covid-19 yang terjadi beberapa tahun lalu memaksa semua orang harus bersosialisasi secara daring. Hal tersebut mengubah kebiasaan Gen Z menjadi lebih nyaman berkomunikasi lewat daring daripada harus bertemu langsung dengan orang lain. Tentu ini adalah kebiasaan yang cenderung buruk atau tidak sehat.
Menurut Bonnie Nagel, seorang ahli saraf perilaku di Oregon Health & Science University, interaksi tatap muka dapat meningkatkan suasana hati dengan melepaskan zat kimia tertentu di otak, yang tidak terjadi saat berkomunikasi secara daring. Kurangnya keterhubungan langsung ini membuat mereka kesulitan berinteraksi dengan orang lain secara langsung. Akibatnya mereka cenderung merasa kesepian dan beresiko mengalami depresi.