Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

PDPI Ungkap Penyebab Tingginya Biaya Pengobatan Asma dan Risiko Serangan yang Tidak Terkontrol

Leonardus Selwyn Kangsaputra , Jurnalis-Senin, 12 Agustus 2024 |02:00 WIB
PDPI Ungkap Penyebab Tingginya Biaya Pengobatan Asma dan Risiko Serangan yang Tidak Terkontrol
PDPI ungkap penyebab tingginya pengobatan asma. (Foto: Freepik.com)
A
A
A

PENINGKATAN biaya subsidi kesehatan akibat persoalan polusi udara yang telah menimbulkan kekhawatiran besar, dengan perkiraan mencapai hingga Rp38 triliun. Tentunya kondisi ini tidak bisa dianggal enteng, sebab risiko dari polusi udara bisa berdampak pada gangguan kesehatan bahkan berpotensi menimbulkan kematian. Bahkan salah satu penyakit respirasi yang sering timbul akibat terpapar polusi ini adalah asma.

Ketua Kelompok Kerja Asma dan PPOK Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr. Budhi Antariksa, SpP(K), menjelaskan obat-obat yang saat ini tersedia di Puskesmas hanya untuk tatalaksana asma akut. Tidak dapat digunakan untuk tatalaksana asma jangka panjang yang menyebabkan pasien harus dirujuk ke rumah sakit yang memiliki akses terhadap obat yang sesuai.

Meskipun asma sudah termasuk dalam kompetensi dasar dokter umum di puskesmas, PDPI mengingatkan pemerintah harus bekali puskesmas dengan obat inhalasi pengontrol.

“Itu benar dokter umum sudah dibekali ilmu kompetensi untuk 144 penyakit, termasuk asma bronchial, tapi kalau obat pengontrol belum tersedia di puskesmas, dokter puskesmas harus merujuk pasien asma ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan spesialistik sesuai anjuran BPJS," kata dr Budhi, dalam siaran pers yang diterima Okezone, Minggu (11/8/2024).

Ketiadaan obat pengontrol inhalasi di puskesmas menjadi salah satu faktor yang berkontribusi signifikan pada biaya pengobatan asma yang tinggi dan peningkatan risiko serangan asma yang tidak terkontrol.

Asma

“Tanpa ketersedian obat pengontrol penting ini di puskesmas, risiko pasien asma akan terus meningkat dan menyebabkan lebih dari 57,5 persen pasien asma masuk IGD dan membutuhkan perawatan khusus di rumah sakit ketika kondisi mereka tidak terkontrol,” kata Budhi.

Senada dengan PDPI, Kemenkes juga menegaskan bahwa jika pengontrol inhalasi belum tersedia di puskesmas, dokter perlu merujuk pasien ke rumah sakit untuk perawatan khusus, sesuai dengan indikasi medis.

Strategi proaktif ini dirancang untuk memastikan bahwa individu dengan asma menerima perawatan komprehensif dan akses cepat ke intervensi medis yang diperlukan, sebagaimana yang diuraikan dalam panduan medis terbaru untuk pengobatan asma.

Sebagai tambahan, Hasil studi Pusat kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Universitas Indonesia (CHEPS UI) telah malakukan kajian penguatan pengobatan tersedia di puskesmas untuk salah satu 144 penyakit kompetensi dokter umum, yaitu diabetes.

CHEPS UI menyebutkan, pengalihkan terapi insulin dari rumah sakit ke puskesmas dapat mengurangi beban biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk penanganan diabetes hingga 14 persen atau sekitar 17 persen per tahun. Dimana estimasi penghematan anggaran sekitar Rp22 triliun (2024-2035), atau setara dengan rata-rata penghematan Rp1,7 triliun setiap tahunnya.

“Dalam upaya meningkatkan kapabilitas pelayanan kesehatan primer, kami mengajak para pemangku kepentingan, terutama tenaga kesehatan dan asosiasi profesi untuk bersama mendukung penguatan fasilitas kesehatan tingkat lini pertama (FKTP). Melalui upaya bersama ini, kita dapan memasastikan bahwa setiap pasien menerima perawatan dan dukungan yang penting untuk manajemen penyakit yang efektif,” kata Nadia.

(Leonardus Selwyn)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita women lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement