"Bantengan itu bahasa kita sehari-hari, tapi yang jelas itu bahasa nandoko, yang lebih tua, nandoko itu banteng, kalau lembu itu sapi, mahesa itu kerbau. Itu bahasa Jawa kuno itu," kata pria berusia 53 tahun ini.
(Foto: MPI/Avirista Midaada)
Namun diakuinya, ada perubahan pementasan dari zaman ke zaman. Bila dahulu bantengan itu dimainkan di padepokan pencak silat dan tubuh di lereng pegunungan, kini berkembang hingga dijadikan pentas seni di jalanan, perkampungan, pedesaan, hingga daerah kota.
"Setiap grup punya cerita versi masing-masing, punya kearifan lokal masing-masing. Jadi ada yang dari cerita mbahnya, leluhurnya, atau pundennya yang dipakai," ujar Takim memungkasi.
(Rizka Diputra)